Rabu, 26 Maret 2008

80% Anak di Jawa Barat Belum memiliki Akta Kelahiran


Dari 19 Negara, Indonesia Dinilai Buruk
80% Anak di Jabar Belum Miliki Akta Kelahiran
BANDUNG, (PR).-
Indonesia merupakan salah satu negara dari 19 negara yang dinilai buruk dalam hal kepemilikan akta kelahiran anak-anak. Hingga saat ini sekira 80% anak Indonesia termasuk di Jabar, yang masih belum memiliki akta kelahiran.
"Akta kelahiran memiliki nilai penting sebagai identitas hukum seorang anak dan pengakuan negara secara hukum terhadap keberadaan seorang anak, berkaitan dengan kewarganegaraan dan hak-haknya sebagai warga negara. Oleh karena itu, jika seorang anak tanpa akta kelahiran diperjualbelikan di luar negeri, secara hukum pemerintah Indonesia tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap anak tersebut," kata Kepala UNICEF Perwakilan Jabar dan Banten, Hilda Winarta kepada pers, seusai menyampaikan laporan tahunan UNICEF kepada Wagub Kesejahteraan Jabar Dedem Ruchlia di Gedung Sate, Kamis (16/1). Pelaporan tahunan UNICEF tersebut dihadiri sejumlah anak-anak jalanan di kota Bandung, perwakilan pelajar, dan anak-anak tunanetra Wyata Guna Bandung.
Hilda menegaskan Undang-Undang Perlindungan Anak yang baru sebenarnya menyebutkan bahwa pembuatan akta kelahiran anak adalah gratis. Sekalipun blankonya masih tetap harus dibeli. Namun, ia mengakui, UU Perlindungan Anak tersebut tampaknya masih harus disosialkan sekaligus juga dipatuhi.
Menurutnya ada banyak kendala yang menyebabkan seorang anak tidak memiliki akta kelahiran. Selain para orang tua tidak memahami arti penting akta kelahiran, pembuatan akta dinilai terlalu sulit dan rumit.
"Padahal, akta kelahiran merupakan hak anak pertama yang seharusnya diberikan," tambahnya.
Di negara lain, lanjut Hilda, akte kelahiran dipakai untuk merencanakan, data statistik penduduk, dan perencanaan penyediaan infrastruktur. Namun, Indonesia masih belum mengarah ke sana apalagi karena masih ada data kependudukan lain. "Namun, bagaimanapun akta kelahiran itu wajib dimiliki. Tanpa akta kelahiran, banyak data usia anak yang simpang siur dan digunakan untuk hal-hal menyimpang," katanya lagi.
Selain masalah kepemilikan akta kelahiran, anak-anak di Indonesia juga masih menghadapi berbagai permasalahan. Seperti yang dihadapi anak-anak jalanan.
Menurut catatan, saat ini di Jabar sedikitnya terdapat 15.000 anak-anak di Jabar yang hidup sebagai anak jalanan. Menurut data yang diperoleh Lembaga Perlindungan Anak Jabar, sekira 4.000 di antaranya berada di Kota Bandung.
"Dalam penanganan anak jalanan ini pemerintah sebaiknya juga mendengarkan apa yang menjadi kehendak anak-anak tersebut," ujarnya.
Ancaman "DO"
Wagub Dedem Ruchlia mengakui hingga kini masih banyak permasalahan anak-anak di Jabar yang belum terselesaikan. Di antaranya adalah adanya ancaman drop out pada 30.000 anak-anak usia sekolah dari berbagai jenjang pendidikan di Jabar pada tahun 2003 ini.
Menurutnya, berdasarkan data Dinas Pendidikan Jabar, untuk dari tingkat SD ke SMP terdapat 24.000 anak yang terancam DO. Di tingkat SMP-SMU sekira 12.000 dan sekira 7.000 anak SMU sudah DO.
Tahun 2003 ini Pemprov Jabar dan pemerintah pusat menargetkan program pengentasan kemiskinan melalui tiga aspek, yaitu aspek pendidikan, kesehatan, dan pemberian sembako. (A-53)***

Rabu, 19 Maret 2008

HENTIKAN KEKERASAN PADA ANAK

Hentikan Kekerasan pada Anak!
KETIKA UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) disahkan November 2004, boleh jadi masyarakat berharap agar kematian/kekerasan terhadap anak tidak terulang lagi, seperti kasus Arie Hanggara maupun kasus terbaru, Ridwan Maulana (5). Namun, apa yang terjadi? Baru-baru ini tersiar kabar Indah Safitri meninggal akibat dibakar orang tua kandungnya sendiri.
SETIAP hari di Indonesia ada anak yang disiksa orang tuanya atau orang yang mengasuh/merawatnya.
"Jumlahnya (anak korban kekerasan-red.) terus meningkat dari tahun ke tahun," kata Rachma Fitriati, Office Manager Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA). Yang lebih menyedihkan, lanjutnya, perlakuan salah tersebut tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual, tapi juga penganiayaan berat dan pembunuhan.
Kasus-kasus perlakuan salah yang menimpa anak-anak tidak hanya terjadi di daerah perkotaan, banyak juga melanda daerah pedesaan. "Berdasarkan data Plan Indonesia yang dikutip sebuah media cetak nasional, saat ini diperkirakan ada 871 kasus kekerasan terhadap anak," kata Pipit, panggilan akrab Rachma Fitriati. Sedangkan dari pengaduan masyarakat melalui hotline services dan pemantauan Pusdatin Komnas PA terhadap 10 media cetak, selama tahun 2005 dilaporkan terjadi 736 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah itu, 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis. Sedangkan jumlah kasus penelantaran anak sebanyak 130.
"Ironisnya, para pelaku child abuse ini, pada umumnya adalah orang yang dikenal anak, yaitu sebanyak 69 persen. Sedangkan yang tidak dikenal anak hanya 31 persen," kata Pipit.
Zaman memang telah berubah, orang tua yang seharusnya melindungi anaknya dari segala bentuk kekerasan, justru banyak yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri.
**
CHILD abuse merupakan bentuk perlakuan kekerasan terhadap anak-anak. Terry E. Lawson, psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
Verbal abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, "kamu bodoh", "kamu cerewet", dsb. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode.
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.
Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak.
**
PERLINDUNGAN terhadap anak korban kekerasan merupakan fenomena sosial yang memerlukan perhatian kita semua. Sebelum diberlakukan UU PKDRT, ketika itu Meneg pemberdayaan perempuan telah mengembangkan model community watch (2002), yaitu membangun kemitraan dengan institusi yang ada di masyarakat, seperti Dasawisma PKK dan institusi lain di tingkat rukun tetangga dan desa, untuk memantau dan melakukan deteksi dini terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, termasuk penganiayaan pada anak. Namun, kenyataannya di masyarakat tidak tampak.
Bahkan kasus yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia memperlihatkan kekerasan terhadap anak semakin buruk lagi. Tidak hanya dari sisi psikologis/emosional, namun sudah bisa digolongkan pada penganiayaan, pelecehan seksual, dan pencabulan, hingga pembunuhan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar tentang bagaimana melindungi anak-anak dari berbagai kejahatan. Selain melindungi anak dari ancaman kekerasan, pun harus dicari akar permasalahannya ada di mana? Apakah pelaku kekerasan itu dulu menerima didikan yang salah dari orang tuanya?
Stres akibat impitan ekonomi, apakah benar itu akar permasalahannya?
Menurut Rachma Fitriati, kasus-kasus kekerasan fisik, psikis, dan seksual terhadap anak yang mencuat di media massa enam bulan terakhir ini, sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi. "Walaupun sebenarnya ada juga kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi pada masyarakat menengah atas. Dimulai dari kasus Anggi (5 tahun 11 bulan), dan terakhir kasus anak yang disetrika ayahnya, sebagian besar terjadi karena kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu karena faktor kemiskinan dan tekanan hidup," ujarnya.
Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat, disertai kemarahan/kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi, menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan, kekecewaan dan ketidakmampuannya kepada orang terdekatnya. Anak, sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap sebagai "milik" orang tua, paling mudah menjadi sasaran.
Psikolog perkembangan Ardanti Ratna Widyastuti (Danti) mengajak kita untuk melihat masa 30-40 tahun ke belakang, bila ingin mencari akar permasalahan apa yang terjadi saat ini. "Bagimana pola asuh saat itu?" katanya.
"Banyak orang tua yang berlaku kasar, memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka. Sebenarnya, tidak semua pendapat itu salah, tapi yang paling benar adalah mereka (orang tua -red.) sesungguhnya sedang memberikan pelajaran kekerasan pada anak-anaknya," kata Danti.
Karena esensinya anak-anak adalah peniru ulung, anak-anak akan berperilaku sama jika mereka menghadapi situasi serupa. Fenomena ini akhirnya menjadi suatu mata rantai yang tidak terputus, di mana setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespons kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi "budaya kekerasan".
"Jadi, bila pola asuh yang ada saat ini masih tetap membudayakan kekerasan, boleh jadi 20-30 tahun ke depan masyarakat kita akan lebih buruk lagi dari apa yang disaksikan saat ini," katanya.
Agresi psikologis itu, katanya, bisa membuat anak menjadi sulit beradaptasi atau bahkan berperilaku buruk, karena berbagai faktor. Biasa jadi anak kurang percaya diri, atau sebaliknya, menjadi pemberontak. Tetapi yang paling dikhawatirkan adalah jika mereka melakukan hal yang sama terhadap anak mereka kelak, rantai kekerasan itu akan terus berlanjut.
Satu saja dari keempat chlid abuse itu dilakukan terus-menerus akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis. "Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya," tambah dia.
Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Dengan sangat mengerikan, Lawson menggambarkan bah­wa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil.
"Anak bukan milik orang tua, hanyalah titipan Sang Pencipta," kata Danti. Tidakkah menjadi masalah bila titipan itu kemudian dirusak/ diperlakukan kasar? Maka hargailah anak dengan keterbatasannya sebagai individu yang utuh, bukan dianggap orang dewasa kecil.(Jalu)***

Sabtu, 15 Maret 2008

SELAMATKAN MEREKA DARI HIV/AIDS

Selamatkan Mereka dari HIV/AIDS

Sebut saja namanya Yus. Mantan anak jalanan di bilangan Jakarta Timur ini telah 3 tahun meninggalkan kehidupan jalanan.
Yus menjadi relawan penjangkau di sebuah LSM yang bergerak di bidang pencegahan HIV/AIDS. Tugasnya mengumpulkan informasi kelompok anak jalanan di Jakarta Timur, sekaligus memberikan informasi tentang HIV/AIDS.
Yus juga mengajak anak jalanan datang ke Rumah Singgah Drop In Center Cijantung, untuk bermain musik dan latihan teater. Anak-anak jalanan juga diajak melakukan konseling, dan test HIV dengan pendampingan.
Menurut Nana, koordinator relawan YPI, untuk mengumpulkan anak-anak jalanan sulit, karena mereka berada di jalanan juga untuk mencari uang, karena itulah harus pakai strategi.
Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Nafsiah Mboi, dalam keadaan fly, anak-anak dapat saja melakukan hubungan seks tidak aman.
Dengan begini resiko tertular penyakit kelamin dan HIV cukup tinggi. Apalagi anak jalanan sudah mulai ada yang memakai narkoba dengan cara menyuntik, sehingga penyebaran virus HIV dapat terjadi melalui jarum suntik.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak , jumlah anak jalanan saat ini mencapai 75 ribu jiwa. Tersebar di dua belas kota di Indonesia.
Di Jakarta terdapat sekitar 40 ribu anak jalanan. Lebih dari setengahnya masih memiliki kontak dengan keluarganya. Sisanya tidak lagi ada kontak atau tidak mempunyai keluarga. Mereka hidup dan tinggal di jalan.
Kekerasan, seks usia dini, penggunaan obat-obatan dan norma yang longgar menjadikan anak jalanan berada pada posisi paling berisiko terhadap HIV AIDS. Itu pula yang menggugah Yus untuk menjadi relawan. Terlebih setelah seorang temannya menjadi korban .
Apa yang dilakukan Yus merupakan bentuk pendidikan lapangan terhadap anak jalanan. Hal ini lebih efektif karena dengan merekrut anak jalanan untuk mengikuti pelatihan HIV/AIDS, dapat menjangkau komunitas mereka .
Keberhasilan tugas anak jalanan yang menjadi relawan dapat diukur dari perbaikan perilaku anak-anak jalanan yang menjadi binaan mereka.
Sampai saat ini memang tidak ada data akurat jumlah anak jalanan yang terkena HIV AIDS. Karena belum terbukanya akses informasi dan pelayanan kesehatan terhadap mereka.
Padahal Perserikatan Bangsa Bangsa telah menekankan agar pemerintah Indonesia memberikan akses pelayanan dan perlindungan pada anak-anak dari HIV/AIDS sebelum tahun 2010.
Masih ada waktu, Namun bila kita tetap berpangku tangan, di waktu mendatang anak-anak jalanan dapat menjadi sumber penyebaran HIV/AIDS yang mematikan.(Idh)

Kamis, 13 Maret 2008

SEKILAS PERLINDUNGAN ANAK


Sekilas - Perlindungan Anak

Khairuddin, 15, sedang berlibur bersama ayah dan 3 saudaranya saat terjadi tsunami yang melanda Aceh Desember 2004 silam. Dia satu-satunya yang selamat dan mengungsi di Children Center UNICEF di Banda Aceh.
Masih banyak anak-anak Indonesia yang rentan terhadap situasi kekerasan. Kondisi ini menjadi tantangan utama UNICEF dan mitra-mitra lokalnya.
Ada beberapa fakta yang cukup memprihatinkan. Diperkirakan sekitar 60 persen anak balita  Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Lebih dari 3 juta anak terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Bahkan, sekitar sepertiga pekerja seks komersil berumur kurang dari 18 tahun. Sementara 40.000-70.000 anak lainnya telah menjadi korban eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya. Belum lagi 5.000 anak yang ditahan atau dipenjara dimana 84 persen di antaranya ditempatkan di penjara dewasa.
Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana. Lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orang tua. Secara psikologis anak-anak itu terganggu sesudah bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh dan Sumatra Utara pada 26 Desember 2004 silam.
Seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dan di antara teman sebaya mereka. Tapi banyak kasus kekerasan semacam ini tidak terungkap. Atau, hal ini tidak dianggap sebagai kasus kekerasan karena kedua pihak tidak menganggapnya sebagai masalah. Seringkali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang lumrah karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Bahkan di banyak masyarakat, norma sosial dan budaya tidak melindungi atau menghormati anak-anak.
Kasus kekerasan di Indonesia tidak mencuat karena tidak ada laporan resmi. Hal ini terjadi karena lingkungan budaya yang sudah mengakar. Masyarakat tradisional memang tidak mengakui insiden semacam itu. Buruknya penegakan hukum dan korupsi di kalangan penegak hukum juga membuat kasus-kasus kekerasan semacam itu tidak diselidiki. Akibatnya pelaku tindak kekerasan terhadap anak pun bebas dari jeratan hukum.

Rabu, 05 Maret 2008

FENOMENA ANAK JALANAN


Fenomena Anak Jalanan
Oleh: Yamin Setiawan
"Jreng... jreng... 100 pak..."
"Plok... plok... cepek mas..."
Fenomena diatas sering kita jumpai di jalan-jalan... di perempatan jalan... di pemberhentian lampu lalu lintas. Kita sering menyebut mereka sebagai pengamen atau anak jalanan. Apakah sebenarnya definisi anak jalanan?
Menurut departemen sosial, seseorang akan dikatakan anak jalanan bila:
1. Berumur dibawah 18 tahun
2. Berada dijalan lebih dari 6 jam sehari, 6 hari seminggu
Apa yang kita lihat sekarang dijalan-jalan? Apakah sudah memenuhi kriteria sebagai anak jalanan?
Ada berapa type anak jalanan?
Anak-anak jalanan mempunyai type:
1. Anak jalanan yang masih memiliki dan tinggal dengan orang tua.
2. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang tua.
3. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga.
4. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga.
Mengapa mereka tetap menjadi anak jalanan?
Banyak penampungan, rumah singgah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mengurus masalah anak jalanan, tapi anak-anak jalanan makin banyak dan malah berkembang semakin pesat. Yang sudah di sekolahkan malah keluar dari sekolahnya serta kembali menjadi pengamen dan peminta-minta. Menurut teori reinforcement: "sesuatu yang menyenangkan akan selalu diulang, sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari". Mereka menganggap sekolah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan (punishment) dan dengan mengamen / meminta-minta di jalan adalah sesuatu yang menyenangkan (reward) karena akan mendapatkan banyak uang untuk bersenang-senang. Apalagi sekarang ini menjadi anak jalanan adalah sesuatu yang "TOP", mereka diundang dan dapat bersalaman dengan presiden pada hari kemerdekaan / hari anak-anak / hari khusus lainnya, itu adalah sesuatu reinforcement yang hebat.
Bagaimanakah anak-anak jalanan itu menurut teori psikoanalisis?
Menurut teori Sigmund Freud, manusia memiliki Id, Ego dan Superego. Id adalah keinginan / hasrat badaniah manusia, misalnya ingin makan, ingin minum, hasrat sex, dll. Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada diluar dirinya, mengatur kepribadian, tempat kedudukan intelegensi dan rasionalitas. Superego merupakan kode moral seseorang, yang memberikan larangan-larangan bila dianggap tidak benar. Manusia dianggap ideal bila memiliki Id, Ego dan Superego yang sama besar, yang seimbang. Anak-anak jalanan memiliki Id yang lebih besar dari pada Superego. Ini terbentuk karena tidak adanya didikan, sopan santun dan tata krama dari orang tua. Seorang anak akan dimarahi dan diperingati oleh orang tua mereka bila makan sambil jalan sehingga superego mereka akan terbentuk (bahwa makan sambil jalan itu adalah sesuatu yang tidak benar) tetapi seorang anak jalanan tidak pernah ada yang memperingati mereka bila mereka kencing sambil berjalan sekalipun.
Dulu sering kita melihat anak-anak jalanan mencoret mobil bila tidak diberi uang, kenapa mereka mempunyai keberanian seperti itu?
Menurut teori share responsibility, seseorang akan lebih berani melakukan sesuatu bila bersama-sama dengan kelompoknya. Seorang cewek tidak akan berani melakukan sesuatu bila ada cowok yang lewat, tapi bila dia berada didalam suatu kelompok, dia akan berani bersiul dan mungkin akan berseru: "Cowok... godain kita dong.." Bila seseorang berada didalam kelompok, rasa tanggung jawab, mereka pikul bersama-sama.
Bagaimana kita melihat fenomena anak jalanan sekarang ini? Bagaimana penanggulangannya? Apakah itu urusan pemerintah? Ataukah kita sebagai masyarakat juga ikut bertanggung jawab dalam masalah ini?
13 September 2004

Selasa, 04 Maret 2008

SITUASI KORBAN ESKA DI SURABAYA


Situasi Korban ESKA di Surabaya *)

Sejak Indonesia ikut meratifikasi KHA (konvensi Hak Anak) pada tahun 1990 maka sejak itu pulalah Indonesia mengakui bahwa anak memiliki beberapa hak yang terdapat di dalmnya. Khususnya masalah eksploitasi seksual komersial pada anak terdapat point yang sangat yakni mengenai pelarangan bagi siapapun untuk melakukan aktivitas yang mengarah pada aktivitas eksploitasi seksual komersial pada anak. Kemudian dengan ikut sertanya negara Indonesia meratifikasi KHA berarti negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan pelarangan bagi siapapun yang memasuki wilayah negaranya yang melakukan aktivitas eksploitasi seksual komersial pada anak (untuk selanjutnya kita sebut sebagai korban ESKA). Selanjutnya pada tahun 1996 Indonesia telibat dalam perumusan dan kesepakatan lagi dalam pertemuan di Stockholm, yang didalamnya melahirkan beberapa agenda (dikenal dengan Stockholm Agenda) yang memberi pijakan dasar bagi berbagai negara, lembaga internasional dan nasional dalam menentang adanya ESKA. Kemudian pada tahun 2000, terbit pula protokol KHA mengenai pelarangan terhadap perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak yang diadopsi dari dewan Umum PBB pada tgl 25 Mei 2000, ini semakin mempertegas bahwa upaya menentang adanya ESKA dari dunia Internasional juga semakin besar. Munculnya beberapa kesepakatan internasional menentang ESKA karena didasar pada sangat urgent dan apabila tidak sesegera mungkin melakukan pencegahan, penghentian dan upaya rehabilitasi korban maka terjadi kondisi terburuk yang lebih panjang pada masa depan anak-anak.
Di Indonesia sendiri, pemerintah saat ini sedang mengupayakan sebuah rencana aksi nasional menentang ESKA, namun tentu saja membutuhkan proses yang akan memakan waktu mengingat besarnya tingkat persoalan yang dihadapi. Di sisi lain korban sudah berjatuhan, anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan prostitusi dan pornografi di berbagai daerah di Indonesia semakin membesar jumlahnya dengan tingkat kualitas kasus yang berat. Dari beberapa kasus yang terungkap misalnya anak-anak yang disekap di Tanjung Balai Karimun, Batam, oleh jaringan kepolisian Jawa Barat adalah salah satu kasus diantara ribuan kasus yang belum terungkap. Ada beberapa hal yang menjadi faktor mengapa persoalan perdagangan anak untuk tujuan prostitusi menjadi persoalan yang sulit diungkap, misalnya saja persoalan belum siapnya aparatur pemerintah dalam menyiapkan intrumen untuk penegakan hukum. Apalagi stigma yang muncul di masyarakat tentang anak-anak yang terjebak dalam perdagangan manusia ini sangatlah buruk. Hal ini tentu saja turut menyulitkan para aktivis pemerhati masalah ini untuk sesegera mungkin melakukan tindakan penentangan secara besar-besaran.
Adanya perdagangan anak untuk tujuan prostitusi ini tentu saja tidak begitu saja muncul. Terdapat beberapa faktor yang mendorong ini menjadi kian marak. Secara umum faktor kemiskinan menjadi persoalan terdepan, budaya patriarkhi yang buruk serta menigkatnya jumlah peminat (disinyalir para pedofil makin banyak di Indonesia). Misalnya yang ada di Surabaya kalau ditilik lebih jauh anak-anak yang menjadi korban umumnya adalah berasal dari keluarga miskin, anak perempuan yang mengalami seksual abusing and violence dan banyaknya tempat-temapt yang sengaja disediakan untuk para pedofil mendapat anak-anak. Gambaran lebih lanjut mengenai situasi korban ESKA di Surabaya dapat dipilah menjadi tiga karakteristik, yakni:
 Korban ESKA di lokalisasi
Situasi yang muncul sangat nampak pada proses perdagangannya. Dari gambaran situasi hasil observasi mendalam oleh tim KOMPPAS, korban ESKA berasal dari daerah-daerah miskin di Jatim (Bojonegoro, Malang selatan dan Gunung Kawi). Mereka dijual dengan cara direkrut dari desa tempat tinggal mereka oleh para calo. Calo-calo ini pada umumnya adalah perempuan mantan pekerja seks dari desa yang sama. Dengan bujuk rayu akan pekerjaan yang mapan di Surabaya. Calo-calo melakukan penipuan kepada keluarga korban yang rata-rata sangat miskin dan berpendidikan rendah. Setelah anak-anak ini di bawa ke Surabaya. Mereka akan difoto dan calo akan melakukan lelang atas diri anak-anak kepada para germo yang ada di dua lokalisasi yakni Bangunsari dan Tambak Asri (dua lokasi ini berdekatan). Selain melalui foto, kadangkala lelang berlangsung di rumah calo atau tempat yang telah ditentukan bersama anatar calo dan germo secara langsung. Calo lainnya sering dijumpai adalah ibu dari anak-anak itu sendiri, mereka berasal dari kampung-kampung kumuh sekitar lokalisasi. Sang ibu akan langsung mengantarkan anak mereka ke germo-germo di kedua lokalisasi ini.
Dapat dibanyangkan bagaimana kondisi psikologis anak ketika tahu bahwa mereka diperjualbelikan secara vulgar (beberapa diantaranya harus diraba-raba dan diperiksa organ-organ tubuhnya oleh para germo sebelum menentukan harga yang diajukan). Setelah mendapat kesepakatan harga (rata-rata 1 anak terjual dari termurah Rp 500.000- termahal Rp 2.000.000), para calo menyerahkan anak-anak ini kepada germo dan ditempatkan di wisma-wisma kecil milik mucikari.
Esoknya, ketika malam hari berlangsung transaksi antara germo dengan konsumen di lapangan sepak bola yang sangat terbuka. Lokasi lapangan ini sontak berubah menjadi pasar malam yang sangat ramai. Anak-anak ditempatkan di dalam lapangan dengan didampingi masing-masing germo, sedangkan para konsumen akan berkeliling sambil menanyakan sekaligus tawar-menawar harga (kami katakan bak pasar sapi saja). Sekali lagi anak-anak ini mengalami tekanan yang amat berat secara psikologis dan tentu saja akan mengalami trauma sepanjang hidupnya, apalagi usia mereka rata-rata 13-17 tahun. Selanjutnya setelah proses jual beli dilakukan, kondisi buruk tidak berhenti begitu saja. Kejadian seperti kekerasan oleh tamu karena tidak puas ketika dilayani atau ketika para tamu ini mabuk berat, dan germo yang seringkali melakukan tindak kekerasan apabila anak-anak ini mogok bekerja. Dengan rata-rata penghasilan Rp 25.000/short time, anak-anak masih harus setor ke mucikari mereka Rp 5000 dan ongkos keamanan Rp 1500,-. Keamanan lokalisasi sangat erat kaitannya dengan bisnis keamanan oleh koramil setempat. Ancaman dari para germo kepada mereka seakan menutup hiddup mereka dari kebebasan. Sampai saat ini perkiraan kasar besar prosentase dari seluruh pekerja seks di situ sebanyak 40% adalah ESKA dari sekitar lebih dari 500 orang PSK.
 Korban ESKA di jalanan
Berbeda dengan teman-teman mereka di lokalisasi, anak-anak ini adalah korban ESKA dengan konsumen kelas menengah keatas. Dengan peran besar germo, anak-anak ini langsung diperdagangkan kepada konsumen di jalan-jalan protokol dan diskotik (setelah tengah malam mereka berpindah ke diskotik). Anak-anak ini berasal dari desa-desa miskin di Jatim yakni Malang Selatan, Banyuwangi, Probolinggo dan Surabaya sendiri yakni mereka yang tinggal di kampung-kampung kumuh di pinggiran kota Surabaya. Awalnya anak-anak ini adalah pekerja anak di pabrik, sektor domestik/PRT dan pelayan toko. Banyak hal yang menyebabkan mereka terjebak pada rayuan germo, antara lain karena:
- Pernah diperkosa juragannya, mandornya atau teman seprofesi kerja
- Pernah mengalami abuse dari tempat ia bekerja
- Dibujuk mendapat uang banyak dan pada saat itu anak-anak ini sedang dililit masalah keuangan dengan keluarganya.
- Mengalami ketergantungan obat, biasanya sebelumnya anak-anak diberi gratis oleh teman-teman baru mereka di jalan selepas mereka keluar dari pekerjaan semula.
Anak-anak ini biasanya tinggal berkelompok dengan teman-temannya dalam kost-kost an sempit di pusat kota Surabaya. Satu grup kost biasanya digermoi satu orang. Peristiwa sangat buruk seringklai mereka alami ketika bekerja. Beberapa kasus yang ditemukan oleh tim ALIT sepanjang tahun 1999-sekarang, adalah kekerasan seksual yang dilakukan para tamu. Misalnya anak digilir beramai-ramai sampai 7 orang dan dibuang di luar kota. Ini terjadi karena anak-anak setelah dibooking akan dibawa sesuka hari sang tamu. Dan apabila lokasi yang dipilih itu jauh dari tempat teman-teman mereka berkumpul, maka tak jarang anak pulang ke kost dalam keadaan hampir pingsan atau menangis meraung-raung karena peristiwa buruk yang dialami malam sebelumnya. Belum lagi apabila konsumennya adalah orang asing, rata-rata selalu meminta adegan seksual seperti dalam film blue yang ditayangkan di kamar-kamar hotel. Salah satu kasusnya adalah anak dipaksa memperagakan adegan dengan dibanting-banting badannya dan kemaluan anak ini dimasuki botol minuman keras. Dapat dibayangkan trauma yang dialami anak setelah mengalami peristiwa ini. Peristiwa lainnya adalah garukan yang dilakukan polisi dan pamong praja. Dalam peristiwa garukan anak mengalami kekerasan kembali, mereka dipaksa untuk diambil darahnya dengan tidak menggunakan jarum suntik yang steril yang dikatakan oleh petugas untuk sampel darah test HIV/AIDS. Beberapa diantaranya dipaksa melayani polisi dengan ancaman pistol bila menolak, dirampas uang mereka oleh petugas serta barang-barang berharga yang mereka miliki. Belum lagi ketergantungan obat (shabu, extacy dan putaw) yang dialami hampir 99% anak-anak ini. Setiap hari mereka dipaksa menggunakan obat ini oleh tamu, atau mereka sendiri akan membeli sendiri. tiga kali kasus over dosis tertolong oleh klinik ALIT menunjukkan bahwa seringkali anak menggunakan obat sebelum transaksi dan ketika “berhubungan” dengan tamu dan akan kembali memakai denan jenis lainnya setelah meneima uang dari germo. Satu kasus anak tewas karena overdosis ditemukan subuh di pinggir jalan. Jumlah mereka saat ini berkisar antara 80% dari total PSK di jalanan dan diskotik dari sekitar 300 orang. Kasus lainnya yang muncul adalah anak-anak diorganisir oleh germo besar dan bandar besar untuk digunakan sebagai pengedar di daerah lain dan merekapun tetap akan diperdagangkan untuk konsumsi turis di Bali dan Singapura.

 Korban ESKA di slums area
Korban adalah anak perempuan di kawasan ini dan mereka rata-rata berasal dari Malang Selatan dan Pasuruan. Namun beberap diantaranya juga bersal dari Surabaya sendiri, yakni mereka yang keluarga tinggal di sekitar stasiun dan terminal. Anak-anak ini berpendidikan rendah, beberapa diantaranya keluarganya bercerai. Anak-anak ini memilih keluar dari rumah dan menjadi anak jalanan.
Dalam kehidupan jalanan inilah anak-anak mengenal dunia seks dan obat-obatan. Para calo melihat dengan jeli keberadaan anak-anak yang sedang bingung dan resah karena tak tahu arah dan tujuan mereka di Surabaya. Dengan bujukannya, akhirnya anak-anak ini di jual pada para konsumen. Rata-rata konsumen ini adalah para sopir angkot, kenek dan preman-preman terminal. Asal tahu saja perilaku para konsumen ini tentu identik dengan kekerasan, pemaksaan dan penganiayaan. Seringkali konsumen membeli dalam keadaan mabuk dan tak jarang sepulang dibooking anak dalam keadaan babak belur. Belum lagi kasus Penyakit Menular seksual yang rata-rata terjadi pada anak-anak ini, karena perilaku sehat pada konsumen dan anak-anak masih belum disentuh sama sekali, artinya perilaku beresiko tinggi dalam berhubungan seksual tejadi di sini baik bagi si anak maupun konsumen itu sendiri.
Melihat gambaran situasi korban ESKAdi Surabaya seperti di atas muncul pemikiran dari ALIT dan KOMPPAS yang selama ini telah melakukan observasi dan beberapa pendampingan terhadap korban ESKA yakni :
a. Bagaimana upaya menyelamatkan mereka dari resiko yang lebih buruk
b. Bagaimana membuka masalah ini pada publik dan pemerintah tanpa harus menimbulkan korban, mengingat jaringan yang terlibat juga begitu kuat.
Langkah yang sekiranya saat ini mampu dilakukan adalah memberikan beberapa layanan untuk mencegah kondisi lebih buruk pada korban dan melakukan intervensi lebih jauh dalam bentuk recovery sosial dan psikologis pada korban bagi mereka yang bersedia mengakses layanan kami. Dengan melakukan layanan bukan berarti kami tidak melihat peluang untuk diadvokasi. Tetapi layanan juga berarti sebagai media kita untuk melakukan monitoring atas pelanggaran HAM terjadi pada korban melalui catatan harian fasilitator lapangan dan secara rutin disusun dalam laporan yang lebih detail. Karena rasanya kurang mendalam bila sekedar dilakukan mapping atau bentuk penelitian lainnya karena kedalaman kasus seringkali terungkap dalam proses pendampingan.
Membuka jalur informasi bagi mereka diharapkan akan membuka pintu untuk kebebasan mereka dari cengkeraman dunia prostitusi.
*) Ditulis oleh Yuliati Umrah, Yayasan Arek Lintang (Alit) Surabaya