Selasa, 30 April 2013

Bandung Canangkan Bebas Anak Jalanan

Bandung Canangkan Bebas Anak Jalanan

Ilustrasi anak jalanan.
Ilustrasi anak jalanan. (sumber: Jakarta Globe)
Targetnya akhir Desember tahun ini, 85 persen anak jalanan di Bandung tidak ke jalan lagi.

Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat mencanangkan bebas anak jalanan sebagai upaya terpadu, terarah dan berkesinambungan untuk mewujudkan Indonesia Bebas Anak Jalanan 2014.

"Mudah-mudahan akhir Desember ini, 85 persen anak tidak ke jalan lagi," kata Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri saat kegiatan Sehari Bersama Anak di Kota Bandung, Minggu (14/10).

Peluncuran program kesejahteraan sosial anak untuk mewujudkan Bandung bebas anak jalanan yang digelar di halaman kantor gubernur atau gedung sate tersebut juga dihadiri Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

Pada acara tersebut Mensos menyerahkan bantuan PKSA untuk 1.750 anak total nilai lebih dari Rp3 miliar dan pemberdayaan orang tua anak jalanan melalui Kube atau Kelompok Usaha Bersama untuk 50 Kube total sebesar Rp1 miliar, serta kebutuhan dasar untuk 1.500 anak senilai Rp300 juta.

Sebagai upaya untuk mewujudkan Bandung Bebas Anak Jalanan, pada tahap pertama Kementerian Sosial sudah berusaha membantu 1.500 anak yang terpaksa bekerja di jalanan melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak yang didampingi pekerja sosial.

Selain itu, secara terpadu Kementerian Sosial dan kementerian terkait lainnya serta pemerintah daerah selain memperhatikan kebutuhan dasar anak-anak, juga akan terus memperhatikan pemberdayaan keluarga.

Pada 2012, direncanakan untuk Kota Bandung dan sekitarnya akan diberikan bantuan kelompok usaha bersama (Kube) dan usaha ekonomi produktif (UEP) untuk 500 kepala keluarga dari anak-anak jalanan.

"Dengan cara ini, saya ingin memulai menangani anak jalanan dengan memadukan PKSA dengan pemberdayaan sosial kemiskinan perkotaan," kata Mensos.

Mensos mengatakan, Provinsi Jawa Barat harus menjadi contoh bagi provinsi lain dalam penanganan anak jalanan. Berdasarkan data Dinas Sosial pada 2011, jumlah anak jalanan di Jawa Barat mencapai 4.951 anak di 14 kabupatendan kota.

Kementerian Sosial juga telah melakukan kegiatan yang sama untuk Jakarta bebas anak jalanan pada 2011.

Dalam kegiatan tersebut, sebanyak 8.000 anak jalanan mendapat tabungan sebesar Rp1,5 juta dan pembinaan untuk setiap anak dalam program PKSA sehingga anak tidak kembali lagi ke jalan.

Kementerian Sosial mengklaim kegiatan tersebut tercapai, sebab bagi anak yang kembali ke jalan tabungan yang seharusnya digunakan untuk membiayai kebutuhan sekolahnya seperti uang jajan dan ongkos akan ditarik kembali.

www.beritasatu.com/.../77493-bandung-canangkan-bebas-anak-jalanan.html

Kamis, 25 April 2013

Membuka Sekolah untuk Gelandangan dan Pengemis

Any Kusuma Dewi
Membuka Sekolah untuk Gelandangan dan Pengemis
Headline
Inilah.com
Oleh: Dahlia Krisnamurti
gayahidup - Sabtu, 7 Juli 2012 | 13:00 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Kecintaannya terhadap anak kecil telah membuat Any Kusuma Dewi membuka sekolah gratis untuk anak-anak pengemis dan gelandangan. Semua dari biayanya sendiri.

Apa yang dilakuikan Any Kusuma Dewi, wanita pengusaha ini memang patut diacungi jempol. Melalui Yayaysan Trikusuma Bangsa, ia mendatangi lingkungan anak-anak pengemis dan gelandangan untuk memberikan mereka pendidikan.

INILAH.COM mendapatkan kesempatan bertemu dengan Any bersama anak asuhnya di Meseum Fatahillah, baru-baru ini. Di komplek Museum Fatahillah, Any bersama beberapa rekannya terlihat asyik memberikan pendidikan dan permainan untuk anak didiknya.

Berikut petikan wawancara dengan Any, ibu tiga anak. Apa yang melatarbelakanginya membuat sekolah untuk anak-anak gelandangan dan apa saja yang telah didapatkan dari kegiatan sosialnya tersebut.


Mengapa tertarik di kegiatan sosial?

Saya baru Februari kemarin mendirikan Trikusma Bangsa ini. Tapi saya di kegiatan sosial sudah enam tahun lalu, seperti membantu korban bencana alam. Untuk mendirikan sekolah ini, karena kecintaan saya kepada anak-anak.

Kenapa anak-anak gelandangan dan pengemis?

Memang saya pecinta anak-anak. Saya dulu pernah menyantuni janda-janda miskin, tapi saya lebih konsentrasi ke anak-anak. Masa depan untuk anak-anak kan panjang. Kalau kasih ibunya uang, misalnya, kan langsung habis. Kalau anak-anak kan bisa disekolahin. Anak-anaknya saja yang perlu diselamatkan, karena pendidikan kan dibawa sampai mati.

Bagaimana awalnya membuat sekolah ini?

Awalnya saya makan di sini (Museum Fatahillah), banyak pengamen anak-anak. Saya nggak kasih uang karena takut dimanfaatkan. Lalu saya pinjam terpal dan saya ajak anak-anak ini untuk sekolah, ternyata mereka mau. Saya tanya seminggu sekali mau tidak belajar sambil main, dan mereka mau.

Lalu saya ajak sopir saya, suster, karyawan untuk menjadi follower. Sekarang saya punya anak didik sekitar 100. Selain di Fatahillah, saya juga punya tempat lain seperti ini, seperti di Cilincing.

Mengapa sekolahnya di tempat terbuka seperti ini?

Jujur, pertama karena saya tidak punya tempat, saya tidak punya rumah singgah. Selain itu, saya memang tidak mau mereka keluar dari habitatnya. Karena kalau saya bawa ke rumah asuh, mereka pasti akan balik lagi ke jalan. Karena memang tempat mereka ada di situ.

Kalau di sini, mereka kan seperti santai, tapi dapat pendidikan. Selain itu, ibu-ibu mereka juga bisa mengawasi. Karena kalau kita bawa ke tempat asuh, pasti nggak boleh sama orangtua mereka.

Apa saja yang diajarkan?

Semua pendidikan. Dari matematika, bahasa Inggris, iqro, keterampilan, menggambar.

Dapat halangan saat membuat sekolah ini?

Tentu ada. Halangannya awalnya dari orangtua. Karena harusnya mereka kerja, tapi malah belajar. Namun karena mereka melihat positif untuk anak-anak mereka, mereka bahkan sekarang mengantarkan langsung ke sini, menunggu anak-anaknya. Selain itu, saya di sini kan mengambil lahan parkir, awalnya sempat ribut sama tukang parkir di sini. Tapi mereka akhirnya mengizinkan.

Siapa saja yang membantu kegiatan sosial ini?
Kalau untuk mengeluarkan uang, saya sendiri, saya single fighter. Saya memang pengin mandiri. Saya nggak mau bikin proposal lalu meminta dana dari sana-sini. Saya pakai uang sendiri saja. Dan syukur alhamdulillah, sekarang banyak teman-teman membantu. Seperti ada yang membawa makan.

Ada teman-teman artis juga yang ikut terlibat membantu di sini seperti Vicky Zaenal, Femmy Permatasari, Calina istri Dedi Courbuzier. Ya mereka jadi bintang tamu saja untuk membuat senang anak-anak.

TAMBAHAN PENGASUG SHADOW OF THE CROSS INDONESIA:
 Doa dan harapan saya ada saudara saudara seiman saya yang mampu dan tergugah seperti Ibu Any. Meski berbeda iman kepercayaan tetapi saya sangat mendukung tindakan kasih bagi sesama yang ia lakukan. mari gereja Tuhan mari kita juga turut andil membangun bangsa ini dan generasi muda yang ada melalui pendidikan. GBU all

Anak Punk Gagal Uji Materi di MK

Headline
Oleh: Halimah Sadiyah
nasional - Kamis, 3 Januari 2013 | 18:26 WIB 
 
INILAH.COM, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi pasal 505 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang gelandangan yang dimohonkan oleh seorang anak Punk, Debi Agustio.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai bahwa yang dimaksud dalam pasal tersebut bukan punk sebagai gaya hidup, namun punk yang hidup bergelandangan di jalan. Majelis juga mengkategorikan anak punk yang menggelandang sebagai perbuatan yang mengganggu ketertiban umum.
“Punk sebagai gaya hidup memang tidak dilarang, yang dilarang oleh Pasal 505 KUHP adalah hidup bergelandangan, karena bergelandangan merupakan suatu perbuatan yang melanggar ketertiban umum,” ujar anggota majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Maria Farida Indarti dalam persidangan di Gedung MK, Kamis (03/01/13).
Debi Agustio merupakan anak punk yang juga mahasiswadari Fakultas HukumUniversitas Andalas, Padang. Ia merasa keberadaan Pasal 505 KUHP telah melanggar kebebasannya sebagai warga negara untuk berkumpul dan berserikat karena memuat ancaman pidana enam bulan penjara bagi anak punk.
Debi memohon agar MK membatalkan Pasal 505 ayat 1 KUHPyang berbunyi,“Barangsiapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan kurungan paling lama tiga bulan. Dan, ayat kedua yang berbunyipergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang umurnya di atas 16 tahun, diancam dengan kurungan paling lama enam bulan.
Ia menganggap pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Namun, Hakim Konstitusi Maria Farida menilai alasan tersebut tidak berdasar. Pasalnya, larangan hidup bergelandangan tidak ada kaitannya dengan kewajiban negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Menurut Maria, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan seseorang atau sekelompok orang untuk hidup menggelandang, sekalipun negara belum bisa melindungi fakir miskin dan anak-anak terlantar. [tjs]

Mereka Juga Ingin Punya Masa Depan



 
Pelayanan Anak Jalanan
(Linda - Komisi Pemuda) dari GKY www.gky.or.id
 
Mereka Juga Ingin Punya Masa Depan

Belum banyak jemaat yang tahu kalau GKJMB memiliki pelayanan di bidang yang satu ini. Kalaupun ada yang tahu, umumnya menganggap bagian dari Komisi Pemuda. Padahal pelayanan ini berada di bawah naungan Tim Misi. Artinya, terbuka bagi siapa saja.
Sejarah Terbentuknya
Pelayanan Anak Jalanan memang berawal dari Komisi Pemuda. Pada bulan Desember 1998, krisis moneter yang melanda bangsa Indonesia, ternyata mempengaruhi pola pikir Panitia Natal Pemuda Rayon III untuk tidak merayakan Natal secara jor-joran. Keputusan untuk ikut peduli terhadap situasi yang melandapun akhirnya diambil. Dana konsumsi tidak akan digunakan, melainkan dialokasikan untuk kegiatan sosial. Panitia Natal juga membentuk Tim Aksi Sosial Khusus di luar Panitia Natal. Hanya saja saat itu belum diputuskan kegiatan sosial macam apa yang akan dilakukan. Mengunjungi Panti asuhan, Panti Jompo, atau membagi-bagikankan sembako.
Informasi yang didapat, akhirnya menggiring tim aksos untuk menjatuhkan pilihannya pada penampungan anak jalanan di Jl. Kebon Sirih mlik sebuah Yayasan Kristen yang berada di bawah naungan Kampus Diakonia Modern (KDM) pimpinan Bapak Lumy. Di tempat penampungan ini, anak-anak yang tadinya hidup di jalan diajak kembali untuk hidup secara normal. Makan tiga kali sehari, mandi dan berganti pakaian, punya tempat untuk berlindung dari panas, hujan, dan juga kehidupan keras jalanan yang kerap membahayakan keselamatan diri mereka.
Tepat tanggal 25 Desember 1998, acara kunjungan dilaksanakan. Anak-anak yang hadir jumlahnya jauh lebih banyak dari kondisi normal. Rupanya rencana kedatangan kami dengan cepat mereka sebar ke teman-teman mereka di jalan. Acara demi acarapun disuguhkan. Menyanyi bersama, panggung boneka, permainan dan pembagian bingkisan. Tidak akan pernah terhapus dalam ingatan kami, bagaimana mata bulat polos mereka dengan tidak berkedip memandang acara panggung boneka, suatu hal yang sangat langka dalam kehidupan mereka. (Acara ini sempat diliput oleh harian KOMPAS, yang kemudian menjadi salah satu berita halaman pertama media tersebut keesokan harinya)
Perayaan Natal di Kebon Sirih ini tidak saja berjalan lancar, tapi juga meninggalkan suatu beban pelayanan baru bagi Tim Aksos. Mereka merasa tidak mungkin hanya datang dan lihat untuk pergi selamanya. Harus ada suatu tindak lanjut yang dilakukan bagi anak-anak jalanan tersebut. Harus ada yang menyampaikan Kabar Baik kepada mereka. Jangan sampai kehidupan menyedihkan selama di dunia terus mengikuti mereka hingga "kehidupan baru" kelak. Syukur kepada Tuhan karena Dia membuat Tim Aksos tidak saja tergerak, tapi juga bergerak. Pihak KDM segera dihubungi. Setelah berembuk, Tim Aksos akhirnya kebagian peran di bidang rohani. Dan sesuai dengan kebutuhan, Tim Aksos kemudian melayani di tempat penampungan mereka di kawasan Cileungsi.
Kondisi Pelayanan
Pelayanan anak jalanan ternyata sangat unik. Tidak seperti pelayanan-pelayanan lainnya di dalam gereja yang sudah baku. Pelayanan anak jalanan merupakan suatu bentuk pelayanan yang unpredictable (tak dapat ditentukan secara pasti). Selain karena Tim Aksos kekurangan SDM dan masih mencari bentuk dan format yang tepat, anak-anak yang dilayani sangat beragam. Mulai dari usia, tingkat pendidikan, latar belakang dan juga masalah yang mereka hadapi. Masing-masing anak memerlukan penanganan yang khusus dan berbeda-beda.
Sebut saja Eko, 14 tahun, sudah beberapa tahun malang-melintang di jalan. Untuk bisa tetap makan, biasanya dia ngamen di lampu-lampu merah ataupun di kendaraan umum. Tampaknya tidak ada yang berbahaya dalam diri anak ini. Tapi, ternyata Eko sudah pernah beberapa kali menjadi korban perlakuan seksual orang dewasa selama menjalani kehidupannya. Akibatnya di tempat penampungan dia tidak dapat melepaskan diri dari kebiasaan ini, dan akhirnya temannya pun menjadi korban.
Atau Rahmat, asal Banten. Sebelum ke Jakarta dia sudah dibekali bermacam-macam ilmu hitam. Pernah berniat menurunkan ilmunya itu ke teman-temannya, sering ke kuburan sendirian pada waktu malam, merupakan kegiatan yang dikerjakannya selama berada di tempat penampungan Cileungsi. Masih banyak lagi kisah anak-anak malang yang dilayani Tim Aksos yang terlalu banyak untuk diceritakan di sini.
Mereka memang anak-anak yang malang, sementara anak-anak normal di belahan bumi ini menikmati hangatnya kasih sayang dan perhatian orang tua, anak-anak ini sudah harus merasakan kerasnya kehidupan di jalanan. Kehidupan yang keras di rumah, hidup bersama dengan ayah/ibu tiri yang tidak ramah, kemiskinan, merupakan salah-satu dari sekian banyak alasan kenapa akhirnya anak-anak itu lebih senang hidup luntang-lantung di jalanan. Sekolah dan kehidupan normal ditinggalkan untuk menikmati alam kebebasan yang tampaknya sangat menjanjikan. Tapi, nyatanya kehidupan di jalan jauh lebih keras dari yang mereka bayangkan sebelumnya. Untuk bisa diterima di komunitas jalanan, tidak jarang mereka harus diplonco terlebih dahulu. Dan sekadar untuk mempertahankan hidup, mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Ngoyen (makan makanan sisa), nguping (melepas kaca spion mobil), ngebola (mencuri dengan cara oper-operan di atas kendaraan umum), ngaibon ( menghirup hawa lem yang bisa membuat mereka melupakan sejenak masalah mereka) adalah hal-hal yang lazim mereka lakukan. Saat ini jumlah anak jalanan yang ditampung di Cileungsi hanya tinggal 15, dari 30 orang anak yang mula-mula berhasil ditampung.
Dengan kondisi demikian Tim Aksos merasa sulit untuk menembus benteng yang mereka pasang untuk Injil, tanpa dukungan daya dan doa dari segenap jemaat. Kiranya tulisan ini mampu mengetuk hati nurani jemaat agar kita tidak lagi melihat mereka sebagai makhluk pengganggu yang menjijikkan di lampu-lampu merah (yang kemudian membuat kita deg-degan dan cepat-cepat menyiapkan duit receh). Tapi, marilah kita melihat mereka sebagai orang-orang yang patut kita jaring dan kasihi. Kalau Yesus saja mengasih kita, mengapa kita tak mau mengasihi mereka?

Pelayanan Kesehatan Tak Berjalan Bagi Orang Miskin

Satgas PA: Pelayanan Kesehatan Tak Berjalan Bagi Orang Miskin
19 Feb 2013 08:54:20 dari www.actual.co
Satgas PA: Pelayanan Kesehatan Tak Berjalan Bagi Orang Miskin
Ilustrasi (Foto:tataruangindonesia.com)
Jakarta, Aktual.co — Anggota Satgas Perlindungan Anak Ilma Sovri Yanti Ilyas mengatakan, seharusnya tidak ada diskriminasi dalam pelayanan kesehatan termasuk untuk orang miskin.

"Kasus Dera menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah layanan kesehatan setelah kasus RI yang berujung dengan kematian karena lemahnya layanan puskesmas," kata Ilma Sovri Yanti di Jakarta, Selasa (19/1).

Dera Nur Anggraini, bayi yang lahir secara prematur meninggal dunia setelah sepekan berjuang melawan penyakitnya yaitu gangguan pernapasan karena ada kelainan pada kerongkongan.

Bayi tersebut terlambat mendapatkan perawatan dari rumah sakit. Menurut Eliyas Setya Nugroho, ayah Dera, ia telah berupaya merujuk Dera ke rumah sakit lain namun beberapa rumah sakit di Jakarta menolak dengan alasan penuh.

Dera yang lahir kembar akhirnya meninggal pada Sabtu (16/2) di Rumah Sakit Zahira tempat ia dilahirkan.

Ilma mengatakan, Satgas PA berduka atas meninggalnya Dera bayi kembar yang sempat ditolak oleh lima rumah sakit di Jakarta.

Sesuai penjelasan dari pemerintah bahwa yang mencari rujukan seharusnya rumah sakit, tapi ternyata orang tua korban harus keliling dari pintu ke pintu rumah sakit agar anaknya bisa dirawat.

"Dari proses yang terjadi, terlihat bahwa sistem pelayanan kesehatan tidak berjalan karena orang tua korban miskin," kata Ilma.

Gereja Membantu Kaum Miskin

Diambil dari Tabloid Reformata

Alkisah, tahun 1976, Muhammad Yunus mendirikan Grameen Bank. Dia awalnya memberi pinjaman pada kaum miskin di Bangladesh. Prestasinya mengangkat kaum miskin membuat banyak orang terkesima. Keberhasilnya untuk mengangkat kaum miskin membuahkan hadiah nobel ekonomi tahun 2009.
Konsep itu sebenarnya sudah lama berakar dalam tradisi Kristen. Peranan gereja, bukan lagi hanya masalah rohani tetapi juga ikut terlibat dalam kegiatan masyarakat, dan itulah yang disebut pelayanan yang holistik. Jadi inilah salah satu bentuk pelayanan gereja dalam bentuk diakonia. Credit union yang dikelola gereja contohnya adalah CU di Gereja St. Joseph di Phnom Penh, Kamboja.
Program ini memberikan pinjaman kepada orang miskin dengan bunga paling rendah, kata Saing Yuth, mantan guru dan administrator CU. Pinjaman di CU tersebut hanya dikenai bunga satu persen per bulan tanpa harus ada jaminan. Ketika lembaga credit union lain mematok bunga 4-5 persen per bulan, kata perempuan itu.
Selain pinjaman, CU gereja itu juga memiliki program tabungan, yang memberikan bunga tiga persen per tahun. Kepala paroki, Pastor Paul Roeung Chatchai memperkenalkan program kredit dan tabungan itu pada awal tahun 2007. “Misi utama Gereja adalah untuk mewartakan Kabar Baik bagi manusia. CU kami merupakan salah satu cara untuk melakukan hal ini dengan memberikan kehidupan bagi orang miskin ketika mereka berada dalam situasi sulit,” katanya.
Tujuan lain, lanjut Pastor Roeung, adalah mendorong dan mengajar masyarakat setempat untuk saling mendukung dan secara finansial janganlah terlalu bergantung pada keluarga. Menurut Bank Nasionam Kamboja, negara itu memiliki 27 bank komersial, enam bank spesialis, dan 21 lembaga CU berlisensi.
Di kalangan Katolik, di KWI sendiri credit Union dirintis Romo Stephanus Bijanta CM yang menjadi Sekretaris Komisi PSE KWI. Dia berpengalaman dalam menggerakkan Credit Union di Kalimantan dan Papua. Di KWI sekarang punya Credit Union yang ada di Jakarta, misalnya CU di Jakarta yang anggotanya sekitar 1500 orang dengan total asset 14 miliar rupiah.
Romo Maryono SJ kala itu mempersilahkan untuk mengadakan sosialisasi CU di tengah karyawan-karyawati KWI. “Credit Union bukan melekat kepada lembaga seperti kantor KWI, tetapi melekat pada setiap orang yang menjadi anggota CU. Lembaga seperti KWI hanya bermitra dengan CU untuk membangun wadah merancang kesejahteraan pribadi bersama dengan orang lain,” ujarnya.

Membangkitkan ekonomi
Lain lagi CU Sondang Nauli yang berdiri tanggal 23 April 1983 di Kabanjahe, Kabupaten Karo yang berkantor pusat di Jalan Sukaraja Munthe No. 40 Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Awalnya, ikatan pemersatu CU Sondang Nauli adalah para perantau Katolik yang datang ke Kabanjahe dan sekitarnya yang tergabung dalam Punguan Sondang Nauli. Kini, credit union ini berkomitmen untuk tetap konsisten dan terus menerus memberikan pelayanan terbaik bagi anggotanya dan seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Karo.
Kisah lain, Pintaraja Marianus Sitanggang seorang penggagas credit union di Sumatera Utara. Dia memulai di lingkungan sekolah. Berawal sebuah koperasi yang dibentuk dari dua SMA di Pematang Siantar, kini ada 61 credit union di bawah naungan Puskopdit BK3D Sumatera utara. Kini, total aset credit union di bawah Puskopdit BK3D ini, sampai sekarang lebih Rp 1 triliun. Uang tersebut semuanya berasal dari simpanan saham anggota credit union yang jumlahnya lebih dari 250.000 anggota, basisnya juga gereja.
Awalnya, keputusan Pintaraja mendirikan credit union itu diawali sejak Sitanggang mengikuti seminar perburuhan di Baguio City, Filipina, tahun 1970. Sitanggang yang saat itu menjadi guru SMA Katolik Budi Mulia, Pematang Siantar, Sumatera Utara, berada di Filipina karena ditugaskan Pengurus Pusat Persatuan Guru Katolik. “Salah satu materi seminar perburuhan itu tentang credit union.”
Sebagai ketua yayasan, Sitanggang kemudian mengajak para guru dan karyawan SMA Budi Mulia mendirikan credit union. Tahun 1973, terbentuklah credit union Cinta Mulia. Tetapi, kondisi ekonomi saat itu belum pulih benar akibat inflasi pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno.
Ini membuat tak banyak orang tertarik pada ide koperasi simpan pinjam itu. Namun, Sitanggang tak kehilangan akal. Ia lalu bersepakat dengan guru dan karyawan agar memotong sebagian gaji mereka sebagai simpanan saham. ”Waktu itu lembaga keuangan, apalagi koperasi, hampir tak dipercaya masyarakat. Di sisi lain, masyarakat miskin di desa-desa tak mengenal konsep menabung karena untuk makan saja sulit,” ujarnya.
Tantangan membentuk permodalan bersama bagi rakyat miskin di pedesaan tak menyurutkan semangat Sitanggang. Ia tak ragu mendatangi lapo, kedai tuak, dan mengunjungi rumah warga di huta-huta di Sumatera Utara, hanya untuk memberi pemahaman bahwa semiskin-miskinnya orang masih ada yang bisa mereka sumbangkan.
Awalnya dia hanya berkantor di gereja. Itu dilaluinya selama 10 tahun pertama. Tapi  kemudian, credit union ini mulai dilirik masyarakat. Kini, credit union menjadi semakin inklusif. Lembaga keuangan ini tak hanya dimiliki jemaat gereja Katolik, tetapi juga mereka yang beragama lain.
Kini, dengan berkembang itu, maka berdirilah Badan Pengembangan Daerah Koperasi Kredit yang menjadi cikal bakal koperasi sekunder, Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D). Penyesuaian nama sejalan dengan Undang-Undang Koperasi, membuat BK3D diubah menjadi Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit).
Ternyata credit union dapat membangkitkan ekonomi rakyat.
 ?Hotman J. Lumban Gaol

Stand True Pro-lif Outreach - What I saw and heard during my two days at the murder trial of abortionist Kermit Gosnell

What I saw and heard during my two days at the murder trial of abortionist Kermit Gosnell:
I recently spent two days at the murder trial of Kermit Gosnell, the abortionist accused of the murder of seven babies born alive and one woman. Gosnell would take babies who were born alive after botched abortions and snip the backs of their necks to finish the job. You can find out all about who Gosnell is and what he did at http://www.whoisgosnell.com
I arrived at the courthouse on Monday morning to find out the trial would be postponed for a day because of the defense attorney being sick and in the hospital. Father Frank, Janet Morana, Alveda King and I were able to talk to the prosecutors who allowed us to view and examine the evidence that was taken from his “house of horrors” abortion mill.
As I walked around the filthy, rusty and utterly disgusting equipment I wanted to vomit. I could not believe this stuff was taken from a so-called “medical clinic.” The table that the abortions were performed on looked like it was straight out of a horror movie, as did the suction tubes and ancient ultra-sound machine. The recliner in which women sat to recover from the abortions was stained and tattered and not fit to sit on. Earlier that day the prosecutor almost sat in the chair and she was visibly upset that she came so close to doing so.
On Tuesday I met up early in the morning with Alveda King and went back to the courtroom for the opening of the defense’s arguments. The day opened with defense attorneys arguing for the acquittal of all the charges to the judge, without the jury present.
Gosnell’s attorney was visibly conflicted as he went back and forth between calling the victims either a fetus or a baby. At one point he yelled out, “These infants, fetuses or whatever you call them.” I wanted to scream but had to bite my tongue as I listened to this dribble.
It suddenly became very personal to me as the defense attorney began to address the abuse of a corpse charges that Gosnell was facing for the baby parts found in jars in his house of horrors. When the attorney started spewing about how these were not real body parts because they were not real humans yet, I began to tear up. He talked about how these babies were not really human and all I could think about was Benjamin Davis, my son who we miscarried two years ago. Benjamin was a real person and was given a real funeral; he was an actual human being just as these babies were.
The prosecutors at one point were discussing a time when after the botched abortion, Gosnell also botched his “snipping.” “It was laying there with a hole in its neck, it was moving and breathing, it was alive,” declared a clinic worker about one of the babies Gosnell murdered. Sitting there listening to all of these quotes and testimonies was one of the most difficult things I have ever done, but it was important for me to be there.
Gosnell (as you notice I refuse to call him a doctor) just sat there through all of this testimony without emotion or reaction. He just sat there taking notes and smirking as he looked around. He was guarded by an armed police officer at all times as he has been in custody for almost two years. It makes my skin crawl to think that this man could possibly be released and be back in practice if he is found not guilty.
I am also heartbroken for this man and the day he will face our Lord. I prayed for his soul and have been asking my friends to do so also. I know how despicable I was before I knew Christ and I also know Gosnell needs that hope of Christ just all of us do.
This Monday the attorneys will present their closing arguments and then his fate will be given to the jury to deliberate. Christian leaders will be outside the Courthouse on Monday leading a prayer vigil for the verdict and for Gosnell himself.
We need your help to get me back to the Gosnell trial on Monday and Tuesday. It is important for me to join other national leaders at the trial for the closing arguments and for the prayer vigil. We simply need help with the cost as it is not in our budget right now, can you donate $25, $50, $100 or whatever you can to help get me there?
Bryan Kemper
Will you help get Bryan Kemper to the Gosnell trial?
If you can donate please do so at https://donate.cornerstone.cc/?mid=STANDTRUE or on the donate button on Stand True's Web site.
Donations can also be mailed to Stand True – PO Box 890 – Troy, OH 45373 or call 540-538-2581 to donate by phone.
Bryan Kemper
Director of Youth Outreach for Priests for Life
Stand True
PO Box 890 * Troy, OH 45373
Tel 540.538.2581
bryankemper@standtrue.com
http://www.facebook.com/iambryankemper
http://www.facebook.com/standtrueforlife
http://www.standtrue.com
 

Rabu, 24 April 2013




NAMAKU NOVIE
Hai namaku, Novie Durant. Aku lahir di pulau Sumatera 35 tahun yang lalu. Kurasa semua orang mendambakan untuk terlahir di dalam sebuah keluarga yang bahagia dan sempurna. Namun pada kenyataannya tidak semua keluarga hidup bahagia. Sebab kehidupan adalah kenyataan dan bukanlah cerita dongeng. Kuingin membagikan kisah hidupku yang penuh liku dan kerikil tajam.
Aku dibesarkan dalam sebuah keluarga pelaut. Pada saat aku lahir, papa tidak ada sebab sedang berlayar. Saat aku beranjak mencapai usia 2 tahun, papa baru pulang untuk melihat putri pertamanya. Sangat kurindukan pelukan dan perhatian dari seorang ayah yang penuh kasih, namun hal itu tidak pernah kudapatkan sebab ia harus berlayar ke negeri seberang. Hingga hubungan kami renggang, ia pun mengalami kesulitan di dalam berkomunikasi baik dengan diriku maupun adik lelakiku. Sebagaimana kebanyakan pelaut lainnya, ayahku memiliki kebiasaan buruk yang sama yaitu bermabuk-mabukkan.
Aku sering mengalami ketakutan bila melihat papa sedang mabuk, terlebih bila ia sedang marah. Tanpa sadar itu sangat melukai diriku dan merusak figur seorang pria secara keseluruhan di mataku.
Saat papa berlayar, keadaan ekonomi kami sangat baik. Kami biasa menolong keluarga dalam hal pendidikan dan usaha mereka maupun tetangga di lingkungan kami tinggal. Aku biasa mengenakan pakaian baru setiap kali papa pulang berlayar dari luar negeri. Sudah tradisi setiap akhir pekan kami akan pergi makan bersama di restoran. Kehidupan yang layak dan mapan telah kami jalani. Sampai suatu hari papa dijebak oleh salah seorang rekannya hingga ia sangat terpukul oleh peristiwa itu. Papaku dituduh sebagai penyelundup barang import. Papa dan mami meninggalkan kami ke Pulau Jawa. Sedang aku dan adik tetap tinggal di kota kelahiran. Kami dibesarkan di rumah keluarga mami. Dari keadaan ekonomi yang berlimpah-limpah, kini kami harus tinggal di rumah saudara. Demi sekolah dan kebutuhan sehari-hari, kami harus bekerja membereskan rumah dan aku memberikan les pada anak-anak di lingkungan kami tinggal untuk uang tambahan. Harga diri kami tercabik-cabik, keputusasaan, ketakutan, kecemasan dan kekuatiran menguasai pikiran dan hati. Terlebih saat aku mengalami pelecehan seksual, kebencian dan perasaan tidak percaya pada kaum pria bertambah besar.
Adakah masa depan bagi kami? Mengapa orang-orang yang dahulu papa dan mami bantu malah mencibir kami? Sia-siakah perhatian dan pertolongan keluarga kami dulu? Tidak adakah orang yang mengingat kebaikan yang telah keluargaku tabur? Aku sangat terluka saat itu, seolah-olah harga diriku runtuh. Dulu aku biasa mentraktir teman-temanku, kini aku ditraktir oleh mereka. Rasanya aneh dan sulit rasanya menerima keadaan ini. Namun itulah kehidupan yang harus aku lalui, berat dan perih tapi inilah jalan yang harus kulalui. Ketika sahabat-sahabatku terlibat pergaulan seks bebas dan bermabuk-mabukkan, aku tetap berpegang pada prinsip hidup yang kupercayai, yaitu aku tidak mau merusak diriku. Prestasi belajar di sekolah pun aku pertahankan,ketika anak lain yang frustasi membolos sekolah, aku tetap berprestasi dalam pendidikan. Orang-orang mengatakan,” Lihat si Novie, paling-paling sebentar lagi akan rusak sebab Papanya saja seperti itu.” Sudah cukup orang mencibir papa dan mami, aku ingin membuktikan bahwa keluarga kami tidak seperti itu.
Saat kuberanjak SMA, aku pindah ke Jakarta dan untuk pertama kalinya bersatu kembali dengan Papa dan Mami. Semenjak peristiwa yang menimpa Papa di Belawan, ia sulit untuk dapat bangkit kembali baik dalam pekerjaan dan usaha. Rasa kecewa dan terluka akibat dikhianati teman baiknya menyelimuti relung hatinya, yang membuat ia makin terbelenggu dalam kebiasaan buruknya bermabuk-mabukkan. Hingga ia sulit untuk dapat menjadi produktif lagi. Kulihat Mami dalam kondisi yang sulit sekali pun, ia tetap setia mendampingi Papa dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
Aku pindah ke Jakarta sebab salah seorang tanteku mengatakan bahwa aku akan dibiayai olehnya selama mengikuti pendidikan. Memang hal itu terjadi sampai aku duduk di bangku kelas 3 SMA, dimana ia menolak untuk membiayaiku. Aku tidak mampu membeli buku sekolah dan bila hendak ulangan terpaksa belajar di rumah teman agar dapat mempelajari bahan ulangan besok. Sedih sekali rasanya hidup yang harus kulalui ini, aku sangat iri melihat teman-teman hidup dalam keluarga yang bahagia dan berkecukupan. Aku kadang merasa marah melihat anak-anak yang memiliki orangtua yang mapan namun tidak pernah serius belajar dan hanya hidup hura-hura. Meski hidup-ku sulit dan godaan teman-teman untuk “rusak” di ibukota sebagai jalan keluar cepat mencari uang ada di depan mata namun aku menolaknya, sebab aku ingin membuktikan bahwa aku dapat hidup lurus dan menjadi kebanggaan bagi keluarga-ku. Pada akhirnya aku dapat lulus SMA meski kondisi kami sulit saat itu. Namun tante-ku yang berjanji membiayai studiku menolak untuk membayar SPP-ku selama setahun dan menyuruh Papa untuk membayar semua biaya tersebut. Padahal saat itu, ia tahu bahwa Papa belum memiliki pekerjaan tetap dan bekerja serabutan. Walhasil, aku lulus SMA tapi tidak memiliki ijazah dan pupus sudah cita-citaku untuk kuliah psikologi dan mendalami pendidikan anak. Semuanya seolah hanya impian di siang bolong saja. Sempat aku kecewa dan marah pada sikap tante-ku, dulu sebelum mereka berhasil dan sukses, Papa membiayai hidup mereka bahkan membiayai kuliah om-ku. Kini ketika kami butuh pertolongan, mereka seolah melihat kami ini pengemis saja. Semudah itukah manusia lupa?
Akhirnya kami mengadu nasib di kota Pahlawan, Surabaya. Setelah sebelumnya Papa menjemput adik-ku di Sumatera, akhirnya kami bersatu kembali sebagai keluarga yang utuh meski dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu. Di kota Surabaya, kami berempat kost di sebuah kamar berukuran 3 x 3, di sebuah daerah perumahan padat dekat pelabuhan Perak. Meski kondisi ekonomi tidak kunjung membaik namun paling tidak di sini papa dan adik-ku mendapatkan pekerjaan sebagai pelaut kembali. Di daerah baru ini aku memiliki dua orang teman baik, mereka berdua acap kali mengajak-ku untuk mengikuti sebuah persekutuan doa, Youth Christian Center. Pada mulanya aku tidak tertarik dan acap kali sakit bila hendak pergi namun karena terus menerus mereka mengajak, akhirnya hatiku luluh dan mengikuti ibadah di sana. Saat itulah aku mulai dijamah oleh Tuhan, hatiku yang selama ini keras oleh tempaan hidup dan terluka sangat dalam mulai dipulihkan oleh Bapa Surgawi yang penuh kasih. Sedikit demi sedikit kekerasan hati dan luka-luka mulai disingkapkan dan dipulihkan. Persekutuan yang erat dan perhatian yang tulus kurasakan dalam komunitas itu. Aku merasa berharga dan dapat menjadi diriku sendiri tanpa dihakimi, dalam persekutuan inilah kurasakan apa yang dinamakan keluarga dalam Kristus yang sebenarnya. Dalam persekutuan itulah awal aku mengalami Kristus dan lahir baru.
Saat itulah aku mengalami kelepasan dari belenggu kutuk nenek moyang. Ini merupakan kesaksianku yang lain. Saat aku lahir, orang percaya bahwa aku memiliki keistimewaan sebab saat lahir sudah tumbuh dua gigi seri. Dari latar belakang papa yang mempercayai kuasa gelap dan juga nenek moyang mami yang terlibat okultisme membuat mereka mempercayai hal tersebut. Konon nenek moyang Mami merupakan “orang pintar” pada masa Sisingamangaraja. Sejak kecil aku sudah dapat melihat roh-roh jahat dan berkomunikasi dengan mereka. Keluargaku menganggap bahwa hal itu adalah anugerah dari Tuhan untuk menolong orang lain dan mengetahui masa depan. Ada anggota keluargaku yang membawa aku ke tempat beberapa paranormal, untuk meyakinkan keluarga dan diriku bahwa aku memiliki “kelebihan”. Aku tidak pernah mencari ilmu seperti paranormal pada umumnya namun roh-roh jahat itu datang, berkomunikasi dan membuat perjanjian denganku. Melalui kuasa roh-roh itu, aku dapat menyembuh mereka yang sakit, mencari barang yang hilang, menjadi medium, meramalkan masa depan, dan lain-lain. Namun setiap kali aku menjadi “alat” mereka, aku langsung sakit sesudahnya. Ada rasa takut juga dalam diriku, sebab tiap kali aku marah terhadap seseorang, pasti orang tersebut jatuh sakit atau bila ada orang yang telah kulayani ingkar janji padaku maka orang tersebut mengalami bencana.
Dalam persekutuan doa itulah Tuhan mulai menjamah, menyadarkan dan memerdekakan aku dari setiap belenggu dosa nenek moyang dan dilayani kelepasan. Aku sadar bahwa ini merupakan dosa nenek moyang, yang perlu aku akui dihadapan Tuhan meminta ampun atas apa yang telah dilakukan oleh nenek moyangku dan memutuskan rantai perhambaan itu selamanya.
Dari Persekutuan ini akhirnya aku diutus untuk mengikuti pendidikan PLHK di Bali Bible Training Center yang memperlengkapi aku lebih lagi dalam pengenalan akan Tuhan dan pekerjaan Tuhan.
Hati-ku sempat tertutup bagi pria sebab aku mengalami trauma terhadap sikap Papa yang kaku selama ini dan kebiasaan buruknya, plus pengalaman mengalami pelecehan seksual saat kecil. Sempat terbersit dalam benakku untuk menjadi biarawati gereja Katholik saja dan tidak perlu menikah. Namun setelah aku mengalami pemulihan yang dikerjakan Tuhan, hatiku yang dulu tertutup bagi pria mulai terbuka kembali.
Setelah mengalami pemulihan dan kelepasan itu rasa haus dan lapar akan Tuhan meliputi dalam diriku mendorong aku untuk lebih aktif di persekutuan. Saat itulah Tuhan mulai berbicara mengenai siapa calon pasangan hidupku. Ada perasaan aneh dan tidak percaya. Sampai suatu sore, dalam salah satu ibadah yang diadakan, sang pembicara menyampaikan khotbah dengan topik Kerendahan Hati dan diakhiri dengan pembasuhan kaki. Saat itu si pembicara menyatakan bahwa kami perlu berdoa terlebih dulu dan bertanya pada Tuhan siapa yang harus kami basuh kakinya. Saat kuberdoa ada sebuah instruksi yang sangat jelas bagiku untuk membasuh kaki ketua Persekutuan Doa tetapi tidak dengan handuk dan air di baskom, tetapi dengan tetesan air mata dan rambutku. Ada perasaan takut, bagaimana kata yang lain dan mengapa hanya padanya saja dan tidak yang lain. Namun aku memilih untuk taat saat itu, hatiku dijamah olehNya dan mentaati apa yang Tuhan perintahkan. Dikemudian hari baru kutahu bahwa pada tahun 1993, ketua PD kami saat itu berdoa dan Tuhan menyatakan bahwa Ia akan memberikan pasangan hidup baginya. Dan salah satu tandanya adalah wanita itu akan membasuh kakinya dengan tetesan air mata dan uraian rambut panjang sebagai kain lapnya. Hingga saat aku membasuh kakinya, Tuhan mengingatkan janjiNya itu.
Perjalanan memasuki hubungan penjajakan kami tidaklah mudah, berulang kali aku mau mundur dari hubungan tersebut. Sebab banyak orang mengatakan aku tidak layak membina hubungan dengan ketua PD sebab aku baru bertobat sedang ia sudah lama pelayanan, ada pula yang mengatakan aku memelet ketua PD dan lain-lain. Aku sedih mendengar pernyataan orang-orang tersebut namun ada pula yang menguatkan aku dengan menyatakan bila memang ini kehendak Tuhan, semuanya pasti akan dapat dilalui. Dan yang terpenting calon pasanganku saat itu, tetap percaya bahwa diriku adalah pasangan hidupnya.
Akhirnya ia menjadi pasangan hidupku, namanya Dave Broos. Kami membina hubungan selama setahun dan lalu menikah pada bulan Agustus 1999 di Surabaya. Kami diberkati di GKB Shalloom – Surabaya, oleh Pdt. Yohanes Thomas.
Akhirnya persekutuan doa yang selama ini dirintis suamiku, menjadi sebuah gereja, GKB Cinta Kasih Bangsa (Indonesian Christian Center) dan suamiku menjadi pendeta gembala sidang. Tidak pernah terpikirkan olehku akan menikah dengan seorang gembala sidang dan menjadi ibu gembala namun itulah Tuhan kita yang sering membuat surprise. Setelah menikah aku mengikuti kuliah jarak jauh yang diadakan Seminari Bethel – Jakarta, yaitu Sekolah Theologia Extention (STE) untuk program D-3. Akhirnya aku dapat kuliah meskipun bukan di bidang yang kurindukan namun kumengucapkan syukur atas kesempatan yang terbuka. Melalui sekolah tersebut aku bertumbuh lebih berakar dalam Firman Tuhan di dalam menopang pelayanan suamiku, terutama sebagai pendoa syafaat dan konselor.
Tuhan kembali mengingatkanku akan apa yang telah terjadi dalam hubunganku dengan papa. Setelah aku mengalami pemulihan aku tersadar bahwa sikap papa yang keras dan kaku adalah akibat opa-ku. Beliau adalah seorang anggota polisi yang terhormat di Sulawesi Utara, terkenal sangat disiplin dan keras baik terhadap anak kandungnya maupun anak-anak angkatnya. Papa mungkin seorang pemabuk namun bila kuingat kembali sebenarnya ia penuh perhatian baik padaku maupun adik. Hanya akibat sifat buruknya yang dulu menjadi fokus perhatianku, aku tidak dapat melihat sisi-sisi dirinya yang baik bagi keluarga kami.
Bukan hanya aku saja yang diselamatkan, namun Tuhan mulai menjamah orangtua maupun adikku. Saat adikku “tertinggal” di Sumatera dan hidup dengan Opung, ia terlibat pergaulan yang salah dan menjadi pengedar narkoba. Ia menjadi anggota geng pengedar ganja. Namun setelah melihat perubahan dalam hidupku dan berbincang dengan suamiku yang dulunya juga mantan anak geng di kota Bandung dan pecandu, ia pun mulai berubah. Perubahan yang nampak jelas adalah ia mulai berhenti mabuk-mabukkan dan bergaul dengan teman yang salah. Begitu juga dengan kedua orangtuaku yang berubah, Papa pun akhirnya berhenti mabuk dan memusnahkan semua opo-opo(barang bertuah) yang ia miliki. Semenjak itu hubunganku dengan papa dipulihkan, sungguh bahagianya kini aku memiliki ayah yang baru. Mami yang dulu suka berjudi sebagai pelariannya pun kini bertobat dan berhenti total. Semuanya hanya bisa terjadi oleh karena Kuasa Tuhan yang penuh kemurahan dan limpah kasih.
Hadiah terbesar bagi kami adalah kelahiran putra kami, Philip Broos. Ia adalah anak penghiburan kami di ladang pelayanan. Banyak orang memprediksikan bahwa aku akan sulit hamil karena kondisi kesehatanku namun Tuhan mementahkan semua prediksi orang. Dan hal itu sangat membahagiakan diri keluarga kami. Apa yang manusia katakan mustahil dimentahkan oleh Tuhan kita yang penuh mujizat. Ada banyak hal yang Tuhan lakukan bagi keluarga kami. Saat dokter kami menyatakan bahwa putra kami terbelit tali pusernya hingga aku harus dioperasi cesar padahal sudah bukaan 6. Saat keuangan kami hanya cukup untuk biaya persalinan normal. Rasa takut untuk dioperasi maupun biaya yang harus ditanggung membayangi pikiranku. Siapa yang akan menolong kami, sebab jemaat yang kami gembalakan hanyalah orang kalangan bawah. Hanya pada Tuhan kami bersandar dan percaya. Barangsiapa percaya pada Tuhan tidak akan pernah dipermalukan, itulah janjiNya. Beberapa hari setelah kelahiran putra kami, Tuhan memakai seseorang untuk melunasi semua biaya persalinan dan bukan itu saja, ada uang lebih bagi kebutuhan keluarga kami.
Setelah 7 tahun merintis pelayanan dan menggembalakan sidang, Tuhan mulai mendorong kami untuk menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan pelayanan gereja pada anak-anak rohani yang telah kami muridkan selama ini. Pada tahun 2005, suamiku mengundurkan diri dari pelayanan penggembalaan dan mempersiapkan diri kami sekeluarga untuk memulai pelayanan di kota Bandung.
Saat itu aku tengah mengandung anak kedua kami. Dokter memprediksikan bahwa bayi kami adalah perempuan dan suamiku telah menyiapkan nama Regina bagi putri kami. Putraku, Philip sangat antusias menyambut kelahiran adiknya. Ia telah menyiapkan boks bayi dan boneka-boneka bagi adiknya. Ia sudah membayangkan akan bermain dengan adiknya, di TK ia dengan bangga menceritakan pada teman-temannya bahwa sebentar lagi ia akan punya adik.
Saat kami tengah berjalan-jalan di sebuah mall, tiba-tiba aku merasa waktu persalinan telah tiba. Segera kuberitahu suamiku dan kami bergegas menuju rumah sakit. Setelah tiba di rumah sakit ternyata bayi kami sungsang dan kembali aku harus dioperasi cesar. Namun karena tekanan darahku tinggi maka operasi akan dilakukan keesokan harinya.
Ada perasaan berbeda saat ini, perasaan ini berbeda dari saat menghadapi operasi cesarku yang pertama, ada rasa was-was seperti akan mati. Saat operasi dilangsungkan aku melihat wajah cemas dari para perawat maupun dokter. Ketika putriku lahir, kulihat dokter segera membawa putriku ke ruangan lain. Hatiku cemas, kondisi tubuhku saat itu menurun, semuanya mulai menjadi gelap kudengar salah satu suster berbisik di telingaku, “ Ibu sadar ya, ingat suami dan anaknya di luar.” Tiba-tiba terbayang wajah suami dan putraku yang terlihat sedih. Apakah aku akan mati? Segera aku coba untuk tetap tersadar, aku tidak mau mati meninggalkan keluargaku, mereka masih membutuhkanku.
Setelah kusadar, aku sudah ada di ruang pasien, di sana ada mami yang duduk menungguiku, wajahnya tampak lesu. Lalu aku bertanya,”Kenapa, Mi?” Mami menjawab,”Engga apa-apa.” Aku mulai curiga ada apa ini tapi semuanya coba kutepis. Lalu aku berbicara lagi,”Mi, nanti sepulang dari sini, kita belanja baju bayi di pasar Turi ya?” Mami hanya terdiam dan matanya berkaca-kaca. Saat itulah putraku, Philip masuk kamar. Kupandang Philip dan bertanya,” Phil, kamu senang punya adik sekarang?” Ia menjawab dengan polos dan sedih,” Apa, Ma, adik Philip khan sudah mati.” Kusela jawaban Philip,”Phil, kamu tidak boleh berbicara begitu tentang adikmu.” Kupandang suamiku berdiri di muka pintu dengan pandangan kuyu, ada apa dengan suamiku yang biasanya ceria. Ia memandangku dan lalu memelukku,” Ma, Regina sudah tidak ada dengan kita.” Seketika itu juga aku meledak dalam tangisku, kesedihan memenuhi hatiku. “Mengapa Tuhan?”
Sehari setelah penguburan putri kami, Regina, aku baru tahu bahwa putri kami meninggal akibat praeklamsi. Putri kami hidup sejam sebelum ia pulang ke Rumah Bapa. Ada kesedihan, ada pertanyaan, ada kekosongan namun semua kuserahkan pada Tuhan. Kami mengucap syukur atas satu jam yang Tuhan percayakan bagi kami sebagai orangtua bagi Regina. Di balik segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, ada hikmahnya dimana kita bisa belajar dariNya.
Di kala awan mendung kesedihan melanda keluarga kami, Tuhan memakai saudara-saudara seiman kami di Gereja Oikos Indonesia jemaat Surabaya yang digembalakan Penatua Johanes Harjanto, sebagai tempat kami dipulihkan Tuhan kembali dan mematangkan rencana kami kembali untuk melayani di kota Bandung.
Pada saat persiapan kami merasa mantap untuk pindah namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kami akan pindah sebab kami sudah tidak memiliki uang tabungan untuk pindah ke kota Bandung. Kepindahan kami pada bulan Juni 2007 sudah mendekat namun uang tidak ada. Hingga kami bertanya-tanya, apakah benar kami mendapat perintah Tuhan atau ini hanya gagasan baik kami saja. Kembali lagi Tuhan melakukan suatu kejutan bagi kami, sebulan sebelum kepindahan kami, salah seorang sahabat suamiku memberikan berkat. Hingga kami dapat pindah ke kota Bandung, mengontrak tempat tinggal dan memasukkan putra kami sekolah di SDK Baptis.
Kini kami sudah berada di kota Bandung dan tengah merintis pelayanan The Eagles Nest Ministries. Kami tidak memiliki aset, atau kehebatan apa pun namun kami memiliki hati untuk melayani Yesus Kristus dan itu sudah cukup bagi kami. Tuhan memberikan hatiNya yang limpah dengan kasih bagi kami dan sebagaimana Ia telah memulihkan kami, kerinduan kami adalah melihat setiap jiwa mengalami pemulihan dan mengerti jati diri mereka dalam Kristus.
Aku tahu di luar sana, ada begitu banyak jiwa yang terluka terutama para wanita yang belum mengalami pemulihan. Doa dan kerinduan hatiku, melihat tiap wanita dalam Kristus mengalami breakthrough dalam hidupnya.
Sebagaimana Tuhan telah memulihkanku, Ia pasti akan memulihkanmu juga sebab di dalam Kerajaan Surga tidak ada “anak emas”. God bless you, all.
Anda ingin sharing, didoakan atau kami layani silahkan hubungi kami di 081330135643(tlp/sms) atau novie_durant@yahoo.com. Kami ingin menjadi sahabat dan saudara dalam suka maupun duka. WE CARE.

Memiliki Hati Yang penuh belaskasihan

MEMILIKI HATI YANG PENUH BELASKASIHAN

 Saat kita berjalan dan melihat orang berpakaian kumal dan bau badan yang menyengat menghampiri kita apa yang timbul dalam hati kita? Ada yang merasa jijik, ada yang melihat sebagai pemalas, ada yang masa bodoh saja, ada pula yang segera mengambil uang recehan dan memberi, ada yang berbelas kasihan dan lalu memikirkan dan bertindak bagi mereka yang kurang beruntung, dan masih banyak lagi tindakan lainnya. Saya tidak tahu dengan Anda, namun setiap kali saya melihat orang-orang yang kurang beruntung ini timbul pertanyaan dalam benak saya sebagai anak Tuhan bagaimana saya bisa membantu mereka. Saya bayangkan bila seandainya saya yang ada di posisi mereka dan tak berdaya apa yang saya harapkan orang lain lakukan pada saya. Pernahkah Anda membayangkan bilamana Anda yang mengalami hal tersebut terjadi pada diri Anda?
Saat saya berbagi dengan beberapa rekan tentang melayani orang-orang ini, ada saja yang sinis dan dengan angkuhnya menyatakan sebab orang-orang ini tidak mau terima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat, atau mereka masih hidup dalam dosa sebab orang miskin hidup di bawah kutuk sedang orang kaya itu hidup di bawah berkat, atau karena mereka malas bekerja dan masih banyak lagi jawaban yang tidak memberikan solusi selain penghakiman dan pembenaran diri sendiri untuk tidak bersentuhan dengan kaum miskin.
Benarkah Tuhan Yesus hanya menyembuhkan orang yang mau mengakui Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat? Bila kita membaca Alkitab kita akan menemukan bagaimana Tuhan Yesus bahkan menyembuhkan orang-orang yang belum percaya padaNya atau mengakui keilahianNYA. Karena Tuhan Yesus berbelaskasihan terhadap mereka. Sadarkah saudara bahwa Tuhan Yesus mati di atas kayu salib untuk menebus saudara karena belaskasihNya.Bukan karena saudara sudah hidup benar tetapi Ia mati menebus kita karena DIA tidak ada jalan lain, agar kita dapat kemerdekaan dari dosa. IA harus mati menebus kita dari segala ikatan dosa. Ada belas kasihan yang leimpah dalam DNA Kristus….bila kita mengaku anakNYA…bukankah DNA itu ada pada kita….mengapa kita kurang berbelaskasihan terhadap sesama kita?
Benarkah orang Kristen harus kaya dan yang miskin hidup kurang iman atau tinggal dalam dosa? Bagaimana dengan Tuhan Yesus dan teladan para murid? Apakah mereka menimbun kekayaan atau menyebarkannya untuk menolong sesama? Coba baca kitab-kitab dalam Perjanjian Baru. Orang dapat menjadi kaya karena karunia Tuhan, apakah hanya untuk dinikmati sendiri sampai tujuh turunan? Atau Tuhan ingin Anda menggunakan kekayaan itu untuk mensejahterakan kota atau desa dimana Anda tinggal? Tuhan melimpahi kita dengan kekayaan agar kita tamak dan egois atau untuk memberkati sesama..menolong sesama?
Bagaimana dengan orang Kristen yang pemalas, itu merupakan masalah mindset dan itu bisa kita ubah. Paulus menyatakan jangan beri makan pemalas yang hanya menggantungkan hidupnya dari belaskasihan orang lain. Bila kita mengasihi saudara kita, maka kita juga tolong dia untuk merubah mindsetnya (pola pikirnya). Sering saya dengar rekan-rekan yang mengkhotbahkan jangan hanya beri ikan pada orang miskin tapi kailnya. Saya rasa pengajaran itu atau ilustrasi itu kurang lengkap. Sebab meski diberi kail tapi bila tidak diajarkan bagaimana mengail maka ia akan jual kailnya. Apa yang seharusnya dilakukan adalah berikan ikan pada orang itu agar dia tidak lapar, lalu ajarkan cara mengail, beritahu trik mengail dan dimana mengailnya, kesulitan apa yang mungkin akan kelak dihadapi, pertemukan dia dengan para ahli mengail hingga dia bertambah wawasan dan bersemangat setelah bertemu para pengail handal, lalu beri kailnya dan jadilah mentor/pendamping bagi dia hingga ia bisa mandiri sebagai “pengail”. Dia akhirnya bisa menjadi teladan bagi yang lain.
Beberapa saudara bertanya bagaimana sebagai langkah awalnya? Saya membagikan ini semua dengan gratis, tidak ada “copyright” dalam pelayanan saya. Harapan saya copy it right dan teach it right. Layanilah sesama kita yang kurang beruntung dengan belaskasihan, perlakukan mereka sebagai sesama manusia, tolong jangan ada lagi yang menggunakan orang miskin sebagai sarana mengumpulkan dana untuk keperluan pribadi atau nama besar pelayanan/organisasi/yayasan/gerejanya. Lakukanlah dengan hati yang tulus karena Tuhan Yesus telah terlebih dahulu mengasihi kita maka sekarang kita mengasihi sesama kita.
Hal yang pertama, berdoalah pada Tuhan untuk dapat mengerti isi hati Tuhan (Matius 25:31-46). Mengerti panggilan kita sebagai anak Tuhan dan apa yang perlu kita lakukan terhadap sesama kita. Apa konsekwensinya menurut firman Tuhan itu bila kita tidak perduli?
Hal yang kedua, milikilah belaskasih Tuhan dalam hatimu. Coba bayangkan bila itu diri anda sendiri atau kerabat dekat anda atau orangtua anda yang alami. Apa yang akan anda lakukan atau apa yang anda harapkan dilakukan orang tersebut pada anda?
Hal yang ketiga, lihatlah sesama kita sebagai jiwa-jiwa yang berharga milik Tuhan, mereka belum tahu jawaban permasalahan hidup mereka dan anda yang memiliki jawaban tersebut. Selama ini mereka sudah banyak dilukai, dimanfaatkan, dan ditipu…..kini saatnya anda datang sebagai terang, garam, surat Kristus yang terbuka….teladan Kristus di muka bumi. Menjadi tangan Kristus…Kaki Kristus…telinga Kristus…tubuh Kristus yang memberkati tempat dimana mereka tinggal. Tuhan Yesus meninggalkan sorga untuk turun ke dunia yang kotor dan penuh dosa karena kasihNya yang besar.
Hal yang keempat, berdoa untuk rekan-rekan sekerja yang sehati dan sepikir. Sebab kita manusia yang terbatas dan membutuhkan rekan sekerja lainnya. Berdoa secara korporat/bersama mencari kehendak Tuhan, strategi pelayanan dan dimana harus memulainya.
Hari ini saya bagikan empat hal sederhana ini bagi saudara-saudaraku untuk renungkan bersama. Saya berdoa lebih banyak lagi orang terlibat dalam pelayanan bagi kaum terbuang dalam generasi kita ini. Doa saya belaskasih Tuhan turun atas semua anak Tuhan dan menggunakan segala daya upaya untuk menjadi alat Tuhan bagi desanya…kotanya..bangsanya….bangsa-bangsa di dunia…..
Dunia tidak butuh sekedar janji-janji manis…..mereka butuh bukti..teladan Kristus yang nyata melalui tubuhNya yang ada di dunia……GEREJA TUHAN…..Let’s get it on, Church!!!!!!!

Salam dari hambaNYA

Dave Broos
Gembala kaum terbuang
Anda dapat menghubungi saya melalui inbox FB, email atau YM davebroos@yahoo.co.uk, SMS 081330135643 dan BBM (pin 31306302)

What if the Bible is A Myth?

What if the Bible is A Myth?

By
What if the Bible was a MythThis month’s synchroblog challenges us to ask the question: “What if some or all of the biblical narrative is not necessarily true history, but is myth of one sort or another?”
I have considered a similar question before: What if Jesus Did not Rise? and my answer to this related question is the same.
I believe that even if the entire Bible were a myth, it would be truer than most historical facts. Some people say that the Bible is nothing but a myth, but there is no such thing as “nothing” but a myth. Any good story is far more powerful to change lives and direct history than the most provable scientific or theological fact. This is one reason the Bible is a story rather than a book of theological facts.
If the Bible is a myth, then we have no way of knowing if there is a God, or what happens after death, or how humanity came into being (Even with the Bible, the answers to those last two questions are anything but certain). If the Bible is a myth then while a man named Jesus might have lived, he probably certainly was not God, and while he might have died as a criminal on the cross, he most likely did not rise from the dead.
And if all of that could indisputable and unquestionably be verified as historical fact, then you know what I would do? I would shrug my shoulders, and continue living as I have been.
Even if the Bible is a myth, the truth that is contained within the Bible is some of the greatest truth that has ever been put onto paper. Even if the Bible is myth, the Bible is still true!
Let me put it another way. Would you say that Aesop’s Fables are true?
Well, of course they are true! But they are not “true” in that they did not actually happen in recorded history. In that sense, they are “myths.” They are “fables.” But they are some of the truest fables ever told for they provide insights into human activity, provide guidance on proper living, helping the reader make right choices.
The Bible, if it were myth, would function in a similar way.
The Bible is true, not so much because it is fact (which I believe to be true), but because it does what it claims to do, that is, change lives for the better. If you look at the history of humanity, the cultures and eras where lives have been affected most positively for the good are the cultures and eras where the Bible has been taught and followed.
Oh sure, there is great evil that has been done because of the Bible as well, but that is true of every holy book in existence, so in that regard, the Bible as a myth would be just like is just like any other myth-filled religious literature.
Is the Bible a MythBut when it comes to the positive benefits that have come to the world, it is an indisputable fact that great advances in medicine, science, equality, health, art, music, prosperity, longevity, and numerous other positive traits have existed most where the Bible is taught and followed best. And as cultures that have the Scriptures begin to abandon them (as is happening in Western culture), that society begins to degenerate once again toward lawlessness.
The Bible, if it were myth, would be the truest and most helpful myth ever written, and I will still read it, study it, teach it, and try to follow it… especially the parts about Jesus, for He (even if he didn’t really exist) represents the truest way to be human. Everybody recognizes this, even those who do not believe the Scriptures are true. Even atheists say that Jesus was a good man and provides a great example for people to follow. People who hate Christians and despise the church, still love Jesus and what He stood for.
So what would change in my life if the Bible was nothing but a myth? Nothing!
If the Bible was a myth, would your life change? Mine would not, for even if it was a myth, it would be the truest myth ever written.

This post was part of the April Synchroblog. Here is a list of other contributors. Go check them all out!

Which God Do You Know?

Which God Do You Know?

By
This is a Guest Post from Tyson Phillips. Tyson and his sister Tammy grew up in the Midwest. Tyson and his family now live discretely on the West Coast, very near a large orchid tree.
If you would like to write a guest post for this blog, check out the guidelines here.
Everybody thinks they know, love, and serve the “right” God. But do they? Which God do you know and serve?

The Angry God

angry godIn those writings most Christians refer to as the Old Testament, we find a God who bears a striking resemblance to the gods of the nations that surrounded ancient Israel. Anger him and you suffered (poor crops, infertility, death at the hand of the enemy, the earth opened and swallowed you). Please him and you were blessed (good crops, many children, victory in battle).
Dare to venture too close to that God and you would be struck dead. Remember the sons of Abinadab who touched the ark when the oxen stumbled (“the Lord almighty, who is enthroned between the chrerubim that are on the ark”), and were struck dead. Remember the Holy of Holies. Only the High Priest may enter, and then only under extremely restricted conditions. Any who violated those restrictions were struck dead.

The God of Love

Is it possible for us to see a God who by his actions said, “You don’t have it quite right. I am not exactly who you think I am. Therefore I will come and walk among you, heal your diseases and teach you who I really am”? The Jesus of the New Testament differs remarkably from the God portrayed in the Old Testament.
God of Love in Jesus Christ
Yet we believe God is unchanging. If that is the case, what must have changed is our understanding of God. Rather than a God who was supposedly behind everything bad that happened (dishing out punishment, judgment or whatever you want to call it), we find the God who loves, the God who freely gives grace and fellowship with himself.

Mixed Messages

We must remember that those who wrote the books of the New Testament had been schooled in the God of the Old Testament. Even those who had walked with Jesus had not forgotten that God. Do not vestiges of that God appear in their writings?
Do not vestiges of that God pop up even among modern-day Christians? We find the God who destroys cities with Hurricane Sandy, the God who kills millions with AIDS, the God who delivers devastation to individuals and families. We see the God who sends divine retribution our way because of our sin or supposed sin.

Which God Do You Know?

Is it possible that many if not most of these things are the direct or indirect result of the “sins” of people, whether it be personal sins, sins of others or collective sins?
I may not have caused my disease, but the people who many years ago buried toxic waste on empty land, land on which my house was later built, greedy people who did not want to pay for proper disposal of the waste, were responsible for my disease. I may not have caused the hurricane, but is it possible it was caused or at the least worsened by ignorant, greedy people who have so polluted our world that the very weather has changed?
Rather than blame God for every bad thing that happens to us and to our world, lay the blame where it really belongs, at our own feet. Do we really need to be protected from an angry God, or from ourselves?
Is God really the Angry God, or the God of love? Is this the God who slays us or the God who loves us, the distant God or God among us, the God of vengeance or the God of grace?
Which God do you know?

What if the Bible was Fiction?

What if the Bible was Fiction?

By
If you are a blogger, one of the keys to getting more traffic and readers is getting other bloggers to mention you and your blog on their websites. There are numerous ways of doing this, such as commenting on people’s blogs, writing Guest Posts, and joining blogchains and Synchroblogs.
My favorite Synchroblog is found at synchroblog.wordpress.com, and I participate every single month. This month’s topic looks particularly interesting, and I invite all bloggers to join in.
Here are the steps:
  1. Write a post about the topic by April 16th.
  2. Put up a link to your post on the Synchroblog website.
  3. When the link list is published, add it to your post.
  4. Interact with the other writers on their posts.
It’s that simple!
What? You don’t have a blog yet? Yikes! Start one today!
Here is why I am inviting you to participate this month. The topic is…

What if the Bible is a Myth?

Bible FictionHere is the description:
When I was young, I loved to play the ‘what if’ game.  It went like this:  I would imagine an unlikely scenario and present it to my mother to find out what she thought.  Since I had an active imagination, I engaged in this til I drove her to distraction and she would declare, “No more ‘what ifs’!!”  Now that I’m older, I’ve discovered there is a whole group of people who play the ‘what if’ game.  They’re called philosophers!
This month we invite you to play the ‘what if’ game with us.  Try to imagine that some or all of the Bible narrative is not necessarily true history, but is myth of one sort or another.  What sort of effect would that knowledge have on your faith?  What effect might it have on the larger church?  How would it change you?  Would it change you and how you view the world?
We recognize that this might make some or all of you uncomfortable and while we recognize the struggle involved with that sort of discomfort, please feel free to blog about that fact as well.  The ‘what if’ game can involve some prickly feelings and we welcome that as well.
I do not believe the Bible is a myth. To the contrary, I believe in the Bible is inerrant and historically accurate. However, I am excited to write about this topic as it is of particular interest to me, and I have written on the subject before.
If this topic interests you as well, make sure you join us for this month’s sychroblog! I am excited to read what you write.

Sabtu, 06 April 2013

Finding Easter with the Homeless

Finding Easter with the Homeless

By
Amazing grace,Easter with the Homeless
How sweet the sound.
That saved a wretch like me
I once was lost,
But now am found.
Was blind,
But now I see.
We spent Easter morning with the outcast — the lame, the halt, the thieves, the alcoholics, the drug-addicts, the murderers.
We climbed out of our warm beds and headed out into the streets laden with bags of clothes, food and water. We shared what we had with those who had slept under bushes, on the ground and any other place they could find.

Happy Easter!

“Happy Easter! Happy Easter!”
Almost every person greeted us with “Happy Easter!”
These are supposed to be the people who don’t know Jesus. Yet they know Jesus. They have seen Jesus walking among them. He has danced with them. He loves them. They like Jesus.
Jesus was with them in prison. He visited them there. He was with them in Southeastern Asia when they spent the years rotting away in bamboo cages lowered into holes. He was with them as they walked the streets of America, looking for a place to lay their head. They told us Jesus was with them.

Grace to the Homeless

“Grace. It’s all about grace. No matter had bad we screw up, God’s grace is still good. He never forgets us. He’s always there. He’s always been there for me. He’s been there the last eighteen years while I’ve traveled around the country. I don’t have a dime to my name, but I’ve got God’s grace. It’s all about grace. Don’t ever forget that.”
So said the man sitting on the sidewalk on Easter morning. The man with no home. The man with nothing. But he knows that Jesus lives!
“See this mark behind my ear,” said another. That’s where the VC shot me. The bullet came out through my nose. See this big white patch on my thigh” he said, pulling up his pant leg. “That’s where they got the skin to graft onto the left side of my face. Another bullet ripped a big hole there and they had to patch it. God got me through it and He’ll get you through whatever comes your way too.”
Easter with the Homeless

We Found Easter

We gave a cup of water, a warm coat, and we found Easter. The risen Jesus had been there. The risen Jesus was there, walking among those outcast and despised by the world. He too had been outcast and despised. He knows what it’s like. He walks among those He loves. They see Him. They see the One who was despised, rejected and afflicted. He is one of them.
He is risen!
He is risen indeed!
He walks among His people.
He loves us. Whether we’re thieves, adulterers, liars, cheats, gluttons, alcoholics or murderers, He loves us.
Whether we see Him in a fancy building with stained glass windows or dancing with us in the streets, He’s there. He’s alive.

Senin, 01 April 2013

THE LITTLE GIRLS THAT RAISED $300 TO STOP SLAVERY

My Daughters Raised $300 to Stop Slavery

By
MyersgirlsI am so proud of my three daughters… A daddy has got to boast a bit.
Each of them recently had birthdays, and for their birthday parties, they told their friends not to bring gifts, but to make donations instead to help rescue girls from slavery.
Altogether, they raised nearly $300!
The ministry we are sending the money to is Children’s Hope Chest. They work with children in many parts of the world, and one of the areas they specialize in is with rescuing children for the horrors of sex slavery. For example, they recently launched an effort in Moldova to provide a home and round-the-clock care for survivors of sex trafficking.
No, we haven’t told our daughters all the details about the girls they are helping to rescue, but we do talk about the history of slavery, and how there are more slaves today around the world than ever before, and how many of the slaves today are children and young girls. This is something they take quite seriously, and have been doing many things for the last four or five years to help in any way they can.
And they just gave up birthday presents, and raised $300 in the process. My girls are amazing.
To learn more about Human Trafficking and sex slavery, check out some of these posts:

Human Trafficking Posts

  1. Sex Slaves
  2. Would You Fight Slavery?
  3. Rescue Russian Sex Slaves
  4. Rescue Russian Girls from Sex Slavery
  5. Stop Her Nightmare
  6. Another Girl Rescued Today
  7. Girls for Sale
  8. Goal Reached!
  9. I Want to be a Prostitute
  10. $52,000 raised!
  11. 31 Million Sex Slaves
  12. Renting Lacy
  13. More Than Rice
  14. Human Trafficking Ring Busted
  15. The Other Big Game
  16. Sex Slavery, Planned Parenthood, and Your Tax Dollars
  17. How to Minister to Prostitutes
  18. Wisconsin Woman Held as Sex Slave in Brooklyn
  19. Coked-Up Whore
  20. Human Trafficking has Many Faces
  21. Into an India Brothel
  22. You Need a Girl?
  23. Human Trafficking Media
  24. The Son of God is Selling Children
  25. My Girls Raised $300 to help stop Human Trafficking

THE SCARF IT UP CHURCH

The Scarf-it-Up Church

By
In response to some of the posts on this blog about helping the homeless, a woman named Beth sent me the following message on Facebook. It was so encouraging, I asked her if I could share it with all of you as well. She said yes, so here is what she wrote:
Feed the Hungry Scarf it Up

It’s so refreshing to find out there are more like my family out there!
I was adopted by missionaries in the early 1960′s, and, in the following decade my Dad became a pastor. His degrees were in Theology, Philosophy, and Business. My dad was the type of man who would bring homeless folks home and sit them at our dinner table. As a teenager, I have to confess it embarrassed me. These folks smelled like urine, body odor, and booze. At some point, I grew up and realized that it was not about giving them a meal, he could have bought them a hamburger. By bringing them home, he gave them their dignity and treated them like any other guest.
As much as I adored my folks and their love for Christ, as well as the way they showed their love in how they treated others, especially those considered unlovable (or invisible) by most…the fact is, their religion — Pentecostal Holiness — was a huge turn-off and as a result, I struggled for 20 years over my faith.
In the Pentecostal Holiness church, one almost has to be perfect to make it to heaven. I wasn’t allowed to have my ears pierced, go to movies, swim with boys, dance, etc. As an adult, I attended various non-denominational churches, but so many of them were more about growing the congregation and offering entertainment choices, then about teaching folks to have relationships with Christ and each other. None of them taught how to treat one another.
The political in-fighting, constant pleas for more offerings, and competition with other churches was all too much. The clincher was when the pastor of a church I had attended for six years got in the pulpit and asked everyone to take out a cash advance on their credit card to buy some latest, greatest gadget the church just had to have.
Once I stopped attending, the senior pastor sent me a Facebook message telling me that I could be such a great cheerleader for God if only I would return to church. This is ironic because of what I did after I “left” church.
I started a group 5 years ago of friends and strangers called Scarf it Up. Here are some of the things we have done in the past three months alone:
  • We had a yard sale and raised over $3k for a veteran and his family facing foreclosure.
  • We bought and installed a water heater for a disabled woman.
  • We held a Valentine banquet for 150 homeless folks and gave each one a rain poncho, coat, and a small ziplock of home baked cookies in addition to a meal.
  • We feed homeless people monthly and are having a cookout planned for April 6th.
  • Every December we fill backpacks with socks, scarves, blankets, granola bars, toiletry kits, etc, and pass them out on December 15th… this year we distributed 250 kits.
  • We are also an emergency resource for our local Salvation Army and last Thursday they called to ask us if we could help a young mother of two who was short $275 paying her March rent after an illness put her in the hospital and out of work. Within an hour we had the money plus $100 extra for groceries. Over the weekend we discovered she had no furniture. None. So far, we have obtained a sofa, love seat, queen bed, twin bed & trundle, kitchen table/chairs, dishes, and other items as well.
But I’m not a cheerleader for God because I don’t “attend” church.
Recently a well-meaning friend told me I needed to get my family in church. I’m a Realtor by profession, but I also home-school my three younger sons (two are grown). My 14 year old son and I read the bible together daily and are currently in the book of Mark. My younger children and I also read stories from the Bible daily, pray together, and discuss the kind of people we need to strive to be. All of my children help in our efforts to help others.
I may not be physically in a church building, but my husband and I put 10% of our earnings into our “blessings fund” from which we have helped a family with nine children keep their home when facing foreclosure, paid $1800 for a family to have a broken axle repaired on their only vehicle. From this fund, we regularly buy groceries for needy families, make chicken soup for our sick friends, watch the children so a deployed soldier’s wife can get a few hours to herself, take blessings baskets to folks who need a smile after life’s tripped them up, and numerous other ways of blessing and loving others.
We hug our homeless friends, and they know that if they need anything — from shoes to mosquito repellent — all they have to do is ask. To me, many churches are run like businesses and too many pastors are making too much money. The average home price in my market is $160k and yet we have pastors living in million dollar homes in our small city!! I don’t understand it. I don’t agree with it.
So, no, we don’t “go to church,” but we love God and we strive to make Jesus “smile” (that is how we explain it to our 6 year olds). I’m so tired of folks judging my family and thinking we’re “not living right” just because we don’t attend church in a building.
I’m glad there are folks like you telling us that we, in fact, are not doing it wrong and it’s OK for us to worship and serve Him in our own way. Though our service in the name of Jesus may look different than those who “go to church”, it is no less sincere.

Thanks, Beth!
And thanks to all of you who read this blog and who write about similar things on your own blogs and on Facebook. All around the world, people are beginning to see that it is possible (and maybe even easier) to follow Jesus outside the four walls of the church and do so in a way that takes His love to the neediest people in our towns and cities.
Sitting in a building on Sunday morning is not the only way of following Jesus!
If you appreciated what Beth said, go “Like” her Scarf it Up page on Facebook! Maybe you can start something similar in your own town. If you do, let us know!

HELPING THE POOR AND HOMELESS - START SMALL

Helping the Poor and Homeless – Start Small

By
Poor and homelessBased on some of the recent posts from Sam Riviera about helping the poor and homeless in our communities, many people have emailed me about how they can begin doing this in their own communities.
Here is one example of a message that was sent in:
I have been following your posts for some time. You present a freshness to “Christianity” that I rarely see.
The blogger who said that he had quit going to church but it still hurts I am afraid I share that same sentiment. My husband and I stopped late last year. He for different reasons than myself but both are the reasons you and this blogger mentioned. We are older believers and have seen much.
Since I was a little girl, I have been saddened by the Church’s response to those less fortunate. Today I am deeply disturbed by how much it has become a house of hate instead of love. I don’t presume to say that all Christians are like that. I only know that one is way too many.
I would appreciate any help you can give me on gaining the courage to do what you and your family does. How do I get others involved? Thank you for your daily inspiration and love.
I think that this is a question many people have, so I decided to write a post about it.
First, I am encouraged by emails and comments like this because it shows that many people are taking the courageous step of following Jesus wherever He leads. I am convinced that “leaving church” so that we can “be the church” is one of the most difficult–but important–steps a person can make in their life of discipleship. This step is not for everyone, but I think it is becoming more and more important for people today if they want to see Jesus at work among those in our communities who are truly needy.
Second, as to how to start, Sam included many practical suggestions in his blog series about how to get started, but let me share a little bit about what we are doing in my family.
My recommendation is this:

Begin small. Very small.

How small? The biggest small way you can start: with prayer.
Pray for opportunities to present themselves. Pray that Jesus would open your eyes and ears to see where He is leading.
Then, begin looking and listening.
Listen for things people say which might allow you to have conversations with them. Or as you are reading the newspaper, look for opportunities to serve somewhere in your town. Or as you are driving around, look for shelters or organizations where you can volunteer.
So this first step is just to pray and then keep your eyes and ears open.
Then, take another small step:

Take Action.

Based on what you see or hear, begin to get involved in small ways with the things you saw and heard.
Here are some examples:
As you drove around, did you start noticing homeless people? Think about putting together some “gift bags” for them which you can quickly and easily hand to them. Get some cheap bags from somewhere online, and fill them with some non-perishable food items, a cheap tarp, some new socks, and some single-use basic hygiene items, and then put 2-3 of these in your car to pass out whenever you see someone who might need one.
Poor and homeless
Or maybe while you were running errands, you saw a homeless shelter. Call them up and see what volunteer opportunities might be available, and then talk with your husband about going down to help out one time per week.
Or maybe one of your friends said something in passing about helping the poor. Call her up and mention to her that what she said really stuck in your mind and ask if she would be interested in getting together for coffee and brainstorming about how to help the poor in the community.
So basically, helping those who are less fortunate begins with believing that Jesus wants to lead you to help them, and then praying for eyes to see where He wants to lead you, and then looking for these places or people that He brings to your attention. It will be different for everybody, so don’t necessarily think that the ways I talk about on my blog are the ways Jesus will lead you. It might be similar, but it also might be very different.
In fact, Jesus might not lead you to poor and homeless people at all. He might lead you to your neighbors or to the family down the street. Just keep your eyes and ears open as you pray to Jesus to lead you to the people He wants you to love. In the near future Sam Riviera will begin another series of posts about how to do this in your neighborhood. So keep checking back!