Sebuah pelayanan yang dirintis oleh Morria Nickels di Amerika Serikat untuk melayani kaum subkultur yang tersisihkan dari masyarakat. Pada tahun 2006 telah menunjuk dan mengutus Dave Broos sebagai Regional Director di Indonesia
Minggu, 14 Juni 2015
MENGATASI LUKA BATIN
MENGATASI LUKA BATIN
Diringkas oleh: S. Setyawati
Luka batin dan luka fisik memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya: keduanya terasa menyakitkan, meninggalkan bekas, perlu dibersihkan, dan disembuhkan selama beberapa waktu. Perbedaannya: luka batin tidak terlihat langsung dari luar sedangkan luka fisik terlihat secara langsung dari luar.
Tanda-tanda umum yang terlihat dari orang yang memiliki luka batin adalah tegang, mudah kaget jika mendengar suara keras, mengalami ketakutan yang terus-menerus, dan sering kali mengira bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi atas mereka setiap saat. Orang yang mengalami luka batin biasanya juga susah tidur, jantungnya tiba-tiba berdebar-debar, mudah marah, benci kepada orang lain, dan bersikap keras. Selain itu, ada juga yang merasa sangat sedih, depresi, dan banyak menangis. Mereka cenderung akan menjauhi hal-hal, tempat-tempat, dan orang-orang yang dapat memunculkan kembali pengalaman buruk yang membuatnya trauma.
Beberapa orang yang mengalami luka batin tidak dapat mengingat sebagian atau seluruh pengalaman mereka. Mereka kehilangan kepekaan, tidak begitu peduli dengan dirinya sendiri, dan seolah kehilangan tenaga. Akan tetapi, ada juga beberapa dari mereka yang terus-menerus memikirkan peristiwa buruk yang telah mereka alami. Sesekali, mereka merasa kembali berada di tengah kejadian itu dan mengalaminya lagi. Ada pula yang terus-menerus ingin menceritakan pengalamannya kepada orang lain dan beberapa lainnya tidak ingin menceritakan apa pun. Upaya untuk menyembuhkan luka batin pun sangat beragam. Ada yang mencoba menghilangkannya dengan mengonsumsi obat-obatan atau minuman keras, ada yang melampiaskannya dengan makan sebanyak-banyaknya atau bekerja dengan sangat keras. Semua reaksi tersebut dapat terlihat secara langsung pada saat itu juga, atau beberapa waktu setelah peristiwa yang meninggalkan luka batin terjadi.
Seperti halnya luka fisik, luka batin yang tidak disembuhkan bisa menjadi semakin parah. Kejadian yang bersifat pribadi seperti kematian salah satu anggota keluarga atau dikhianati sahabat dekat, peristiwa yang tidak menyenangkan yang berlangsung dalam waktu yang lama, kejadian buruk yang berulang dalam jangka waktu tertentu, atau tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyakiti seseorang dapat membuat luka batin bertambah parah.
Keadaan luka hati seseorang dapat dilihat dari bagaimana ia merespons pengalaman buruknya. Pengalaman trauma yang sederhana tentunya akan direspons lebih sepele dibandingkan reaksi terhadap pengalaman buruk yang dahsyat. Respons yang lebih mendalam terhadap suatu peristiwa biasanya dilakukan oleh mereka yang mengharapkan adanya orang lain yang mengatur apa yang harus dilakukannya, memiliki anggota keluarga yang sakit mental, memiliki bakat sensitif, banyak mengalami hal-hal buruk pada masa lalu, sudah bermasalah sebelum mengalami trauma, atau tidak mendapatkan dukungan dari sahabat atau keluarga selama dan setelah peristiwa trauma yang dialaminya.
Dalam kenyataan hidup, beberapa orang Kristen pun bisa saja mengalami luka batin dan menggumulkan penyembuhannya. Sayangnya, beberapa dari mereka mengatakan bahwa kita tidak perlu memikirkan atau membicarakan perasaan kita serta tidak perlu mencari pertolongan dari orang lain untuk mengatasi masalah ini. Menurut mereka, merasa sakit hati sama artinya meragukan janji-janji Allah. Padahal, mengabaikan luka batin dan tidak membereskannya dapat menimbulkan masalah yang lebih buruk.
Dalam Matius 26:37-38, Yohanes 12:27, Galatia 6:2, 1 Samuel 1, Yohanes 11:35, Yohanes 13:21, Filipi 2:4, dan Mazmur 32:3, kita dapat membaca beberapa tokoh yang begitu terbuka mengungkapkan perasaan mereka kepada Allah. Yesus memiliki perasaan yang kuat dan membagikannya kepada para murid, begitu pula dengan Paulus. Ia mengajarkan agar kita saling berbagi masalah dan saling menolong. Tokoh dalam Perjanjian Lama seperti Hana, Daud, Salomo, dan Yeremia adalah contoh orang-orang yang terbuka kepada Tuhan dalam mengungkapkan perasaannya. Pemazmur berkata, "Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari;" (Mazmur 32:3).
Selain dalam Mazmur nyanyian, kita juga dapat membaca Mazmur ratapan. Di dalamnya, pemazmur mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan dan mendesak Dia untuk segera menolongnya. Melalui Mazmur ratapan, penulis mengajak kita menyapa Allah, mengenang kembali kesetiaan Allah pada masa lalu, mengeluh, mengaku dosa, meminta pertolongan, menemukan respons Allah, dan berjanji akan memuji Tuhan dengan menaruh percaya kepada-Nya. Dengan mencurahkan seluruh perasaan dan isi hati kepada Allah, kita tidak menyembunyikan kedukaan dan tidak tinggal di dalamnya. Ini adalah cara yang bisa kita gunakan untuk menyatakan iman percaya kita kepada-Nya. Kita perlu membiasakan diri untuk bersikap terbuka kepada-Nya serta mencurahkan semua yang kita pikirkan dan rasakan secara terus terang kepada Allah. Ketika kita bersikap jujur, Tuhan akan dengan penuh sukacita mendengar seruan kita dan menolong kita. Ketika meratap di hadapan Allah, seseorang tidak mencoba mengatasi masalahnya sendiri, tetapi berseru, berteriak, dan menangis kepada Allah agar menolongnya. Marilah kita menengadah kepada Allah, bukan kepada musuh, karena Allahlah yang berkuasa penuh atas segala situasi. Dengan cara ini, kita meminta Allah bertindak dengan adil dan kita tidak perlu mengutuki diri maupun musuh kita (Mazmur 28:3-4).
Lalu, bagaimana cara kita menolong orang yang mengalami luka batin agar segera pulih? Untuk menolong konseli yang mengalami luka batin, kita perlu mengajaknya membuka kembali lukanya, lalu membersihkannya dengan cara mengakuinya di hadapan Tuhan. Ajaklah konseli memohon pengampunan dan pertolongan kepada-Nya untuk memulihkan luka itu.
Untuk mendapatkan kesembuhan luka batin, tidak ada cara lain selain mengungkapkannya dan mengizinkan Roh Kudus membebatnya. Ajaklah konseli untuk mengeluarkan rasa sakit di hatinya dengan menceritakan perasaannya. Pertama-tama, cobalah menolong di bawah empat mata. Akan tetapi, jika konseli merasa sulit bercerita, ajaklah dia bergabung dalam sebuah kelompok kecil yang sudah terbiasa berbagi cerita. Biarkan konseli Anda menjadi pendengar terlebih dahulu. Mudah-mudahan, ketika dia merasa nyaman, dia pun siap untuk bercerita. Atau, buatlah konseli merasa percaya untuk menceritakan lukanya kepada Anda.
Ketika kita memberi kesempatan konseli untuk menceritakan rasa sakit mereka, kita dapat menolongnya untuk mendapatkan pengertian yang benar tentang apa yang terjadi dan bagaimana hal itu memengaruhi mereka, menerima apa yang terjadi, dan mendorongnya untuk percaya kepada Allah, bersandar kepada-Nya, dan mengizinkan Dia menyembuhkan mereka (Mazmur 62:9).
Sebagai konselor, bagian kita adalah menyediakan diri untuk mendengar dan membawa konseli melihat permasalahan dengan cara pandang alkitabiah, dan menyerahkannya kepada pemeliharaan dan kedaulatan Allah. Dan, yang tidak boleh tertinggal adalah mendoakannya.
Diringkas dari:
Judul asli buku: Healing the Wounds of Traumma; How the Church Can Help
Judul buku terjemahan: Menyembuhkan Luka Batin Akibat Trauma; Bagaimana Gereja Dapat Menolong
Judul bab: Bagaimana Luka-Luka di Hati Kami Dapat Disembuhkan?
Penulis: Margaret Hill, Harriet Hill, Richard Bagge, dan Pat Miersma
Penerjemah: Melly Situmorang Wenas
Penerbit: Kartidaya, Jakarta dan Gloria Graffa, Yogyakarta 2006
Halaman: 33 -- 43
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar