KHOTBAH SEORANG NARAPIDANA
Minggu pertama setiap bulan, GIKI
Jakarta menyelenggarakan kebaktian minggu di Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) Bulak Kapal, Bekasi Timur. Dalam sebuah kebaktian, masih dalam
suasana Paskah, pada acara kesaksian beberapa orang narapidana
menyampaikan kesaksian dan pujian dari vokal grup yang memang menyentuh
hati.
Yang paling berkesan bagi saya adalah ketika seorang
narapidana muda usia 20-an, Halak Hita Marga Nainggolan, tampil ke
depan. Tampaknya penampilan ini adalah kesaksian pertamanya di gereja.
Wajahnya keras, suaranya keras, dan aksen bataknya cukup kental.
Dia
memulai kesaksiannya dengan sapaan, "Apakah Bapak, Ibu, Saudara merasa
dimuliakan?" Jemaat berkata bersama-sama, "Amin!" Maksudnya, barangkali
ia ingin berkata, "Ada sukacita?" Ia juga mengucapkan terima kasih atas
kehadiran para "penggembala" dari Jakarta. Untuk yang satu ini, rekannya
segera berteriak membetulkan "bukan penggembala, tetapi hamba Tuhan".
"Aku masuk ke sini bukan karena narkoba dan bukan pula karena minuman
keras, tetapi karena main catur." Rupanya, ia bermain catur yang
ternyata bukan hanya jadi sekadar asah otak, tetapi berakhir dengan adu
otot. Pendek cerita, ia terkena pasal 351 (seingat saya menyangkut
penganiayaan). Celakanya lagi, lawannya main catur ini adalah anggota
polisi. Pada waktu ia bersembunyi selama 2 hari, polisi cukup pintar
dengan menyandera abangnya yang sudah berkeluarga dan punya anak.
"Daripada abangku yang sudah berkeluarga jadi korban, lebih baik aku
menyerahkan diri ke Polsek (Polisi Sektor)."
Di tempat inilah,
penderitaannya dimulai, "Sungguh Bapak, Ibu, aku dipermak dari ujung
kaki sampai ujung rambut, aku tidak bohong." Tampak matanya mengecil
seolah hal itu menjadi trauma baginya. Penyiksaan yang dialaminya di
Polsek menyebabkan ia tidak dapat lagi memercayai segala institusi yang
ada seperti Polsek dan Lapas. Ia merasa bahwa dirinya adalah sampah,
yang terbuang dan tidak diperhatikan. Oleh pengadilan, ia dihukum selama
2 tahun dan dimasukkan ke lapas. Menjadi tahanan di Polsek saja sudah
begitu mengerikan, apalagi lapas. Ketika ia dibawa ke Lapas Bulak Kapal,
dalam perkiraannya lapas ini merupakan neraka yang mengerikan. Betapa
leganya ia ketika di Bulak Kapal, saudara-saudara dari persekutuan
kristiani menyambutnya dengan bersahabat.
Di Bulak Kapal inilah,
ia pertama kali menghadiri Perjamuan Kudus (dalam rangka Paskah). "Di
gerejaku, aku tidak bisa ikut karena aku belum sidi," katanya. Ketika
firman Tuhan disampaikan dalam kebaktian Perjamuan Kudus itu, ia
menyimak dengan sungguh-sungguh tentang seorang yang bernama Yesus, yang
disiksa melebihi siksaan yang dialaminya. Ia bisa berempati kepada
Yesus karena ia pun baru mengalami penyiksaan yang berat. Akan tetapi,
penderitaan Yesus, sungguh lebih dahsyat ... salib yang dipikul itu ...
cambukan itu ... mahkota duri itu ... Ia diludahi ... Ia dihina ... Ia
disalib, tangan-Nya dipaku, lambung-Nya ditusuk, dan ... Ia sebenarnya
sama sekali tidak bersalah. Sedangkan ia, Nainggolan, masuk lapas memang
karena ia bersalah. Manusia yang tersalib itu, sungguh ajaib, memberi
harapan bagi Nainggolan. Ia bukan sampah dan orang terbuang yang
dilupakan. Ia dicintai oleh Yesus yang sudah mengorbankan diri-Nya bagi
keselamatannya.
Pada akhir kesaksiannya, muka Nainggolan tampak
lebih berseri. Ketika kebaktian GIKI selesai, jemaat dan para
"penggembala" bersama-sama makan nasi bungkus warteg yang dibawa dari
Jakarta. Selesai makan, saya lihat Nainggolan mengumpulkan
sampah-sampah, yaitu bungkusan makanan dan gelas plastik minuman Aqua.
Ia melakukannya dengan ceria.
Nainggolan tidak tahu bahwa ia
sudah menyampaikan sebuah khotbah Paskah yang indah bagi para
"penggembala" dari Jakarta. Sekurangnya hati saya tersentuh. Saya masih
merenungkan kesaksian Nainggolan berhari-hari sesudahnya. Saya sudah
banyak membaca atau mendengarkan khotbah Paskah, tetapi mungkin karena
sudah sering dan rutin, peristiwa salib sepertinya hal yang biasa-biasa
saja, tidak lagi menggetarkan hati, sampai seorang Nainggolan berkhotbah
dan mengingatkannya di Bulak Kapal. Tubuh dan darah yang dikorbankan di
salib itu sudah menyelamatkan jiwa kita. Ada lagikah yang lebih
berharga dari kemenangan ini?
Diambil dari:
Nama situs: Suara Pertobatan
Alamat URL: http://www.suarapertobatan.com/#/kesaksian/13
Judul artikel: Khotbah Seorang Narapidana
Penulis artikel: Pdt. Remedi
Tanggal akses: 13 Januari 2015
POKOK DOA
1.
Berdoa kepada Tuhan Yesus supaya Nainggolan memiliki hati untuk
mengampuni orang-orang yang pernah menyakiti dan menyiksa dia.
2.
Berdoa untuk setiap narapidana supaya mereka bisa merasakan kasih Allah
dan tidak merasa sebagai sampah, melainkan bisa menggunakan setiap
kesempatan untuk memperbaiki diri.
3. Berdoa kepada Tuhan Yesus
untuk Pdt. Remedi supaya pelayanannya senantiasa diberkati Tuhan.
Kiranya pelayanan yang ia lakukan senantiasa menyenangkan hati Tuhan.
"Jadi,
jangan malu bersaksi tentang Tuhan kita atau tentang aku, tahanan-Nya.
Akan tetapi, ikutlah menderita demi Injil oleh kuasa Allah," (2 Timotius
1:8)
< http://alkitab.sabda.org/?2Tim+1:8&version=ayt >
< http://alkitab.mobi/?2Tim+1:8&version=ayt >
Tidak ada komentar:
Posting Komentar