Oleh: Halimah Sadiyah
nasional - Kamis, 3 Januari 2013 | 18:26 WIB
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai bahwa yang dimaksud dalam pasal tersebut bukan punk sebagai gaya hidup, namun punk yang hidup bergelandangan di jalan. Majelis juga mengkategorikan anak punk yang menggelandang sebagai perbuatan yang mengganggu ketertiban umum.
“Punk sebagai gaya hidup memang tidak dilarang, yang dilarang oleh Pasal 505 KUHP adalah hidup bergelandangan, karena bergelandangan merupakan suatu perbuatan yang melanggar ketertiban umum,” ujar anggota majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Maria Farida Indarti dalam persidangan di Gedung MK, Kamis (03/01/13).
Debi Agustio merupakan anak punk yang juga mahasiswadari Fakultas HukumUniversitas Andalas, Padang. Ia merasa keberadaan Pasal 505 KUHP telah melanggar kebebasannya sebagai warga negara untuk berkumpul dan berserikat karena memuat ancaman pidana enam bulan penjara bagi anak punk.
Debi memohon agar MK membatalkan Pasal 505 ayat 1 KUHPyang berbunyi,“Barangsiapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan kurungan paling lama tiga bulan. Dan, ayat kedua yang berbunyipergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang umurnya di atas 16 tahun, diancam dengan kurungan paling lama enam bulan.
Ia menganggap pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Namun, Hakim Konstitusi Maria Farida menilai alasan tersebut tidak berdasar. Pasalnya, larangan hidup bergelandangan tidak ada kaitannya dengan kewajiban negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Menurut Maria, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan seseorang atau sekelompok orang untuk hidup menggelandang, sekalipun negara belum bisa melindungi fakir miskin dan anak-anak terlantar. [tjs]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar