Rabu, 27 Februari 2008

PENGADILAN KONVENSIONAL BUKAN CARA TERBAIK ATASI ANAK PELANGGAR HUKUM

Pengadilan Konvensional Bukan Cara Terbaik Atasi Anak Pelanggar Hukum
LIHAT saja data di Pengadilan Negeri Bandung. Kasus kejahatan anak yang masuk pengadilan tahun 2001 ada 82 dari total 1378 kasus. Di tahun 2003 jumlah kasus kriminal anak-anak meningkat menjadi 93 dari total kasus 1704. Dan 2003 kasus anak yang ditangani sebanyak 52.
Sementara dari jenis kejahatan yang dilakukan selama 2001, 38 di antaranya berkaitan dengan pencurian, diikuti dengan narkotika 11 kasus, senjata tajam 10 kasus serta pemerasan 7 kasus. Yang lainnya seperti kasus-kasus psikotropika, perbuatan cabul, penganiayaan, penipuan dan penggelapan, serta perjudian.
Pada tahun 2002, kasus pencurian meningkat menjadi 52 kasus, namun masalah senjata tajam, perbuatan cabul, penipuan/ penggelapan, dan pemerasan menurun. Kasus penganiayaan meningkat menjadi 7 kasus dari semula (2001) 5 kasus. Kasus yang menonjol adalah pemerkosaan yang meningkat dari tahun 2002 ke 2003, semula 1 kasus menjadi 2 kasus.
Saat ini PN Bandung tengah menyidangkan kasus pembunuhan yang dilakukan seorang siswa SMU dan korbannya adalah temannya sendiri. Gara-garanya sepele saja, dari obrolan mereka yang kian memanas, pelaku mengatakan "Ku aing dibacok siah!" Ternyata korban justru menantangnya dengan ucapan "Sook!"
Terdorong emosi, pelaku membawa clurit dari mobilnya dan menyabetkannya ke leher korban yang menyebabkan korban tewas. Proses persidangan kasus tersebut kini masih dalam tahap pemeriksaan saksi.
Kecenderungan meningkatnya jumlah kasus kejahatan yang dilakukan anak diakui Kasubseksi Bimbingan Kerja Anak Badan Pemasyarakatan (Bapas) Kelas 1 Bandung Nanang Supriaman, SH. Bapas Bandung yang wilayah kerjanya meliputi Kota dan Kabupaten Bandung, Kab. Subang, Kab. Purwakarta, Kab. Garut, Kab. Karawang serta Kota dan Kabupaten Sukabumi rata-rata menangani sekira 30 kasus kejahatan anak per bulannya. Mereka rata-rata berusia antara 14 hingga 18 tahun.
Bukan hanya kuantitasnya yang meningkat tetapi kualitas tindakannya juga kian berat. Misalnya semakin banyak anak yang melakukan tindak perkosaan. "Tahun ini (Januari & Februari 2004-red) saja, saya mendampingi empat anak yang terlibat kasus perkosaan," ujar Nanang yang ditemui sesaat sebelum sidang di PN bandung, Rabu (11/2).
Dari pengalamannya mendampingi anak yang bermasalah dengan hukum diketahui sebagian besar tindakan mereka dipicu oleh kondisi keluarga. "Kebanyakan mereka berasal dari keluarga broken home. Orang tua mereka bercerai sehingga mereka merasa tidak ada yang memerhatikan," jelas Nanang.
Tindakan pencurian umumnya dilakukan oleh anak yang kondisi sosialnya termasuk golongan menengah ke bawah. Sedangkan anak dari kalangan menengah ke atas biasanya terlibat kasus narkoba atau perkelahian.
Selama ini bapas berusaha agar anak yang bermasalah dengan hukum mendapat vonis dikembalikan kepada orang tuanya. Kecuali jika orang tuanya menyatakan tidak mampu lagi mendidik anaknya, maka anak tersebut akan menjadi anak negara di LP Tangerang.
"Tapi tentu saja kami memantau terus perkembangan anak tersebut, baik yang dikembalikan kepada orang tuanya ataupun yang menjadi anak negara, sesuai putusan hakim," tandas Nanang.
Soal efektif tidaknya putusan hakim untuk mencegah anak mengulangi perbuatan serupa, menurut Nanang, tergantung pada mental si anak sendiri serta lingkungan pergaulannya. "Ada anak yang diputus dikembalikan kepada orang tuanya, tetapi karena lingkungan pergaulannya buruk, ia kembali melanggar hukum. Tetapi ada yang diputus menjadi anak negara ternyata menjadi anak soleh ketika kembali ke masyarakat, " papar Nanang.
Untuk menekan terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan anak, perlu upaya dari berbagai pihak. Dari luar, masyarakat membantu terciptanya lingkungan yang baik, sedangkan dari dalam (keluarga) dibiasakan adanya keterbukaan dan komunikasi yang intens antara orang tua dengan anak. Selain itu pendidikan moral dan agama kepada anak sangat menentukan perilaku anak.
Sementara itu praktisi hukum dan kriminolog Agustinus Pohan menjelaskan data yang ada di pengadilan belum signifikan bila dikaitkan dengan konflik hukum yang pelakunya anak-anak. Karena boleh jadi yang tercatat hanyalah kasus-kasus yang berhasil ditangani pihak kepolisian dan pengadilan. Padahal masih banyak perilaku nakal anak yang mengganggu lingkungan sosial tetapi tidak mencuat ke permukaan.
Banyak kasus kenakalan anak yang berhasil diselesaikan oleh masyarakat dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Namun, yang dikhawatirkan proses penyelesaiannya keluar dari konteks pembelajaran bagi anak. Sehingga anak tidak mendapatkan pendidikan dari apa yang dilakukannya sebagai pengalaman hidup.
Bahkan mungkin karena proses penyelesaiannya yang kurang tepat cenderung mendorong anak untuk melakukannya kembali.
"Sebagai contoh kasus yang diselesaikan melalui kompromi dengan memberikan sejumlah uang tebusan sebagai upaya damai," kata staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan ini.
Bila ini diketahui anak, dia akan berpikir semudah itulah bentuk penyelesaian terhadap pelanggaran aturan di masyarakat. Tak heran bila nanti di benaknya terpatri, uang bisa memainkan hukum dan menjadi patokan dalam cara penyelesaian masalahnya. "Bukankah itu secara tidak langsung mendidik anak untuk berkolusi dan korupsi?" imbuhnya.
Sebagian besar pelanggaran hukum oleh anak diselesaikan di luar proses peradilan. Itu bisa dilihat dari jumlah anak yang ada di lembaga pemasyarakatan. Padahal mungkin kenakalan yang mereka lakukan lebih banyak lagi, sebut saja kasus di lingkungan keluarga atau di masyarakat yang banyak diselesaikan dengan jalan damai.
Sebagai jalan keluar dari bentuk penyelesaian terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, saat ini UNICEF dibantu Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat sedang melakukan observasi dan mencarikan pemecahannya melalui sebuah model yang dikenal dengan istilah Restorative Justice (keadilan yang memulihkan).
Resorative Justice menurut Sri Yudha Ningsih, pengurus dan anggota Working Group Restorative Justice, akan menjadi bentuk penyelesaian konflik anak dengan hukum berdasarkan partisipasi masyarakat. Jadi kasusnya tidak sampai ke pengadilan dan diproses secara hukum, tapi cukup diselesaikan pada tingkat forum atau komunitas di masyarakat dengan jalan kekeluargaan.
"Kan alangkah dirugikannya bila seorang anak yang mencuri sandal lantas dihukum sama dengan kejahatan atau kriminalitas lain. Seolah-olah derajatnya jadi sama di mata anak. Belum lagi perlakuan yang salah saat pemasyarakatan yang akan semakin memburuknya perilaku dan masa depan bagi anak itu sendiri," ujar Sri.
Restorative Justice akan menjadi wadah bagi penyelesaian konflik-konflik hukum yang ringan, yang masih bisa diselesaikan di masyarakat tanpa harus masuk ke meja pengadilan. "Untuk jenis kejahatan yang belum bisa ditolerir, seperti perusakan atau penganiayaan terhadap tubuh hingga penghilangan nyawa, dan narkotika tidak cukup diselesaikan dengan model ini. Ada pengecualian," jelas Pohan.
Dalam Restorative Justice sendiri, ada prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, pengakuan bersalah dari anak. Pemulihan atau rehabilitasi harus dimulai dengan pengakuan atau rasa bersalah anak yang diungkapkan sebagai bentuk penerimaan terhadap perilakunya yang tidak sesuai dengan norma atau hukum yang berlaku. Kedua, ada penerimaan dari korban dan masyarakat yang telah merasa dirugikan akibat perbuatan yang dilakukan anak tersebut. Penerimaan ini sangat penting supaya anak tidak merasa bersalah bekepanjangan. Jadi dirinya sendiri dapat cepat beradaptasi kembali untuk memperbaiki perilakunya yang buruk.
Ketiga, harus ada kesadaran dari orang yang menjadi korban untuk menerima dan mengakui permohonan maaf yang dilakukan anak. Konsekuensi dari ini bisa diwujudkan dengan berbagai bentuk. Misalnya anak dibebaskan begitu saja tanpa ada imbal balik yang harus dilakukan. Sebut saja dengan mengembalikan kerugian atau memberikan suatu bentuk punishment sebagai upaya menebus kesalahan yang telah dilakukan anak. Antara lain menugaskan anak menjalani masa pemulihan dengan melakukan aktivitas yang disetujui sebagai cara mendidik agar mentaati sebuh peraturan. Tentunya tugas atau pekerjaan yang dibebankan tidak memberatkan dan melanggar hak-hak anak.
Keempat, adanya kerelaan dalam penegakan hukum. Dalam Restorative Justice tidak ada istilah peradilan dan lebih menonjolkan musyawarah. Akan tetapi penerimaan korban terhadap permohonan maaf dari anak, sudah menjadi upaya penegakan hukum dengan mengutamakan keadilan dalam pemulihannya.
**
PERLUNYA didorong adanya sebuah model penanganan konflik anak dalam hukum, karena menurunnya kesadaran kolektif masyarakat. Mereka cenderung tidak peduli lagi terhadap individu lain di sekitarnya. Saat ini masyarakat lebih banyak memercayakan penyelesaian kenakalan anak kepada sistem hukum konvensional yang mengatur tata nilai di masyarakat. Padahal, hal ini belum menjadi solusi terbaik dalam mengatasi masalah-masalah sosial.
"Nantinya bisa lebih banyak lagi anak-anak berkonflik hukum yang masuk dalam sistem peradilan anak. Sedangkan peradilan anak sebenarnya tidak mendidik dan tidak memberikan perlindungan yang baik bagi anak," kata Sri Yudha Ningsih.
Problem sosial ini harus segera diatasi, karena semakin metropolisnya suatu masyarakat, mereka akan lebih memilih sikap kepraktisan dalam mengambil keputusan. Mereka tidak peduli lagi dengan masalah orang lain. Yang dilihatnya adalah kepentingan pribadi dari yang merasa dirugikan. "Tentunya ia akan cenderung memilih lembaga peradilan untuk menyelesaikan konflik hukum yang menimpanya, sekalipun pelakunya adalah anak," kata Pohan.
Pendekatan lembaga pengadilan lebih berpihak pada pembuktian salah atau tidak salah, dan menuntut anak dengan sikap pembalasan terhadap kenakalan yang dilakukan. Hal itubisa menimbulkan masyarakat pendendam yang nantinya malah akan mengancam serta meresahkan masyarakat sendiri. Ketika pelaku merasa terbuang dan dipersalahkan terus menerus, dia akan balik menyalahkan masyarakat yang tidak care terhadap dirinya.
Di negara maju pun penerapan sistem peradilan konvensional yang ketat, ternyata tidak memberikan solusi dalam mengatasi problem sosialnya. Bahkan bentuk partisipasi kejahatan anak juga semakin tinggi. Sebagai contoh munculnya kasus pembunuhan oleh anak yang begitu sadis dan mengerikan. "Mereka menganggap anak adalah orang dewasa kecil, yang dapat diperlakukan sama dengan orang dewasa. Hanya dalam beberapa hal yang dianggap kurang mampu dilakukan anak dikurangi bebannya.
"Hal ini tidak bisa dilakukan demikian. Walapun bentuk pengurangan hukuman telah dilakukan, namun mendidikkah cara yang dilakukan?," kata Pohan.
Restorative Justice ternyata juga akan bermanfaat secara ekonomi, baik bagi pemerintah maupun masyarakat, karena akan mengurangi beban biaya penyelesaian perkara. Manfaat terpenting adalah mendidik anak dalam proses penyelesaian konflik dengan hukum, dengan menciptakan kesadaran dan membinanya untuk tidak melanggar hukum. Juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk berperilaku baik sesuai tuntutan masyarakat.
Keuntungannya bagi masyarakat adalah terciptanya lingkungan sosial yang lebih baik, dengan menekan konflik yang bisa muncul dikemudian hari.
Baik, Nanangg, Pohan, Sri, maupun Marisa, sepakat bahwa tidak ada istilah "Narapidana" bagi anak. Bila dia berkonflik hukum hanyalah kenakalan semata yang telah dilakukannya. Kenakalan ini yang seharusnya disoroti dan dicarikan jalan keluar agar perilakuknya bisa dirubah sesuai dengan etika dan norma yang berlaku.
"Pelabelan pada anak yang salah akan mendorong perilaku yang salah juga bagi anak. Anak akan merasa bahwa cap yang diberikannya sebagai bentuk pengakuan, dan ini yang berbahaya. Apalagi pada anak yang bermasalah dalam hubungan sosialnya dia akan terus mencari bentuk-bentuk pengakuan yang bisa diterimanya, bahkan pada remaja sebagai bentuk penemuan jati diri serta identitas pribadinya," kata Marisa.

Tidak ada komentar: