Jumat, 29 Februari 2008

ADA ANDIL MASYARAKAT PERTAHANKAN ANJAL

Ada Andil Masyarakat Pertahankan Anjal
ANAK jalanan telah menjadi sebuah entitas yang memiliki kebiasaan-kebiasaan dan budaya tersendiri. Mereka hadir di tengah masyarakat sebagai sebuah komunitas tersendiri, terutama masyarakat perkotaan.
Jalanan sebagai sebuah tempat bagi orang-orang "terbuang" adalah sebuah fakta sosial, yang muncul sebagai akibat derasnya arus modernisasi yang menggilas mereka yang tidak mampu mengikutinya. Umumnya mereka yang terjun ke jalan adalah orang yang terbuang, miskin dan papa. Jarang kita temukan mereka berasal dari kalangan menengah ke atas, kalaupun ada mereka adalah dari keluarga yang berantakan.
"Tanpa bermaksud mengukuhkan eksistensi mereka dan 'menganakemaskan', progam pengentasan anak jalanan ini harus dilakukaan untuk menarik mereka yang keterlibatannya di jalanan yang begitu besar. Karena di jalanan potensi konflik dan kekerasan, serta kerawanan sosial begitu besar, dan akan mengancam pertumbuhan anak yang seharusnya bisa dibina dengan baik oleh keluarga dan masyarakat untuk tumbuh menjadi generasi ideal diharapkan," kata sosiolog Dra. Susilawati, M.Si.
Dipandang dari sisi hak, anak jalanan adalah anak yang tidak dapat menikmati hak-haknya sebagai seorang anak. Hak atas pendidikan, kesehatan, identitas diri, apalagi pengasuhan yang layak. Hak-hak itu adalah merupakan barang yang demikian mewah bagi mereka. Dalam situasi yang demikian banyak kalangan yang menaruh perhatian dan ingin membantunya. Dalam membantu kehidupan anak jalanan, telah melahirkan beberapa konsep dan pendekatan dalam penanganan. Paling tidak ada tiga metode pendekatan yaitu; eliminasi, membangun dan penguatan komunitas jalanan, dan pemberdayaan melalui pengembangan kemampuan dan ketrampilan anak.
Pendekatan eliminasi berangkat dari asumsi bahwa kehidupan keluarga adalah kehidupan yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Untuk itu anak jalanan yang selama ini telah meninggalkan rumah, harus ditarik lagi ke rumah dan melakukan reintegrasi dengan keluarga. Oleh karenanya pendekatan ini lebih menekankan pada bagaimana anak dapat ditarik kembali ke rumah.
Berbeda dengan eliminasi, pendekatan penguatan komunias atau yang biasa dikenal dengan sub-kultur ini adalah kebalikan dari pendekatan eliminasi. Gagasan ini lebih dekat dengan gerakan budaya. Bagaimana komunitas dan budaya yang telah terbangun di jalanan harus dikuatkan, dan anak tidak dikeluarkan dari habitatnya, yaitu jalanan. Pendekatan ini lebih menekankan bagaimana membangun dan mengembangkan komunitas dan budaya di jalan, dimana tempat tersebut sebagai tempat dan sekaligus media untuk mengembangkan segala potensi dan nilai-nilai yang dibangun secara bersama oleh anak jalanan. Berdiri sebagai sebuah entitas yang diakui dengan segala budaya, kebiasaan, ciri, dan prestasi-prestasi yang dibuatnya adalah keinginan dari mereka yang mengusung gagasan ini.
Sementara pendekatan yang ketiga lebih menekankan pada pengembangan skill dan kemampuan anak. Gagasan ini lebih dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa siapapun orangnya, jika memiliki ketrampilan dan kemampuan, maka dia akan dapat lebih mandiri. Media-media pengembangan yang dilakukan dapat melalui media lukis, musik, atau bengkel. Titik tekan dari pendekatan ini adalah bagaimana anak lebih berdaya dengan skill dan kemampuan yang dimilikinya.
**
IDEALNYA, menurut Susi, dalam program anak jalanan ini melibatkan multi disiplin, agar bisa berhasil dan sesuai harapan. Seidaknya dalam menangani psikososial, harus ada keterlibatan psikolog dan pekerja sosial (sosiolog). Sementara untuk mengangkat ekonomi mereka maka organisasi masyarakat dan ekonom juga bisa memberdayakan mereka agar terbuka pikirannya untuk tidak melakukan aktivitas ekonomi di jalanan. Dan untuk perlindungan dan penegakan hukum, serta sosialisasi hukum, diperlukan mereka yang memahami hukum.
Begitupun dengan pendidikan dan agama, profesi pendidikan ini sangat diperlukan untuk bisa menangani anak jalanan yang putus sekolah dan masih sekolah tapi berada dijalanan. Sama halnya dengan masalah kesehatan yang harus ditangai oleh bagian kesehatan, agar jaminan sosial untuk kesehatan mereka bisa dirasakan, tanpa harus mereka turun ke jalanan untuk mencari biaya kesehatan.
"Penilaian ini dilakukan agar program yang dilakukan bukan malah mengakui eksistensi anak jalanan itu sendiri, sehingga programnya menjadi pemberdayaan. Sebisa mungkin melibatkan multidisiplin ini untuk merehabilitasi agar mereka tidak turun kembali ke jalanan, dan sebagai tanda kepedulian serta kesetiakawanan sosial kita yang merasa mampu mengangkat derajat mereka agar tidak tetap di jalan," tegas Susi.
Untuk keberhasilan pengentasan anak jalanan ini, bentuk program yang dilakukan tidak di jalanan lagi. "Tapi menarik mereka sejauh mungkin dari ingatan atau beraktivitas lagi di jalanan," imbuh Sekretaris Rumah Perlindungan Sementara (RPS) Teratai ini.
Sementara itu, bila dikaji lebih jauh, jika kita bisa meinimalisir mengapa mereka turun ke jalan, maka salah satu akar mata rantai lahirnya anak jalanan bisa diputus. Alasan mereka di jalanan, berdasarkan hasil survey yang dilakukan Universitas Atmajaya dan Departemen Sosial RI, 1999 lalu di 12 kota besar, dan wawancara langsung yang dilakukan Susi khusus di daerah survey Kota Bandung, mengindikasikan beberapa hal tentang anak jalanan:
- Mereka ada dijalanan karena alasan ekonomi. Sebanyak 50%, mereka yang turun kejalanan merupakan golongan yang ingin membantu kesulitan ekonomi keluarga. 11,4 % lainnya beralasan untuk menghabiskan waktu luangnya, setelah gagal sekolah (putus sekolah). Sementara mereka yang tetap bertahan dan ingin sekolah juga memaksakan diri dengan mencari uang di jalanan untuk biaya sekolah, serta tambahan uang saku. Sementara itu, 7% di antaranya juga beralasan tidak ada tempat lain untuk mencari aktivitas ekonomi, selain bekerja di jalanan. sebanyak 1,2 % lainnya juga ada yang merasa tidak betah ketika tinggal di rumah akibat perlakuan orang tua yang salah, kekerasan, pertengkaran. Ketertekanan ini yang mendorong mereka mencari tempat yang cocok, dan menjadi anak jalanan adalah salah satu alternatifnya. Ada 2,6% lainnya yang menyatakan ia ingin merasa bebas dari aturan dan dogma keluarga serta masyarakat. Alasan ini juga ada yang didorong oleh pencarian aktivitas sosial dalam konteks mencari teman. Dari hasil survey juga ditemukan ada di antara mereka yang turun ke jalanan akibat terpisah dengan orang tua.
Dari hasil survey ini juga diindikasikan adanya eksploitasi orang tua, dengan adanya paksaan untuk melakukan aktivitas ekonomi di jalanan. "Walaupun prosentasenya kecil sekira 0,7% , namun indikasi yang menunjukkan ke arah tersebut semakin signifikan datanya," imbuh Susi.
Masih menurutnya, Setidaknya ada tiga hal penting dalam kacamata ilmu sosiologi dalam konteks permasalahan di Indonesia, yang menjadi alasan kenapa mereka ada dan bertahan di jalanan.
Pertama, individu dan keluarga. Latar belakang individu dan keluarga merupakan faktor utama yang mendorong mereka hidup di jalanan.
Kedua, lingkungan masyarakat. Tidak adanya mekanisme yang bisa membuat pertolongan bagi mereka dalam mengatasi kesulitan individu dan keluarga tadi, akan mendorong dan mengukuhkan eksisitensinya agar tetap ada di jalanan, seperti masyarakat setempat tidak memberikan tempat untuk mengisi waktu luang bagi mereka yang memiliki potensi untuk turun ke jalan. "Nilai-nilai di masyarakat yang memberi makan anak di jalanan ini salah satu faktor utama kenapa anak jalanan sulit dihilangkan," kata Susi.
Ketiga, struktur sosial secara luas. Krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan banyak orang tua mengalami keterpurukan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja, menurunnya daya beli ditengah harga yang melambung tinggi, banyak anak-anak yang terpaksa harus meninggalkan orang tua dan rumah mereka karena orang tua tidak mampu memberikan perlindungan ekonomi. Begitupun ketika ia harus putus sekolah, mereka banyak waktu luang dan mendorong mereka melakukan aktivitas ekonomi di jalanan.
Struktur sosial di Indonesia yang mengalami kerapuhan, terutama di kota-kota besar menjadi pemicu kerawanan sosial, dan salah satu di antaranya adalah menjadi anak jalanan. "Hal ini yang harus diperhatikan pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan publik, sehingga kerawanan sosial ini tak semakin meluas dan semakin rapuh, selain memperbaiki ekonomi yang sedang terpuruk," kata Susi.
Selain itu, lanjut Susi, penyediaan lapangan pekerjaan atau kesempatan kerja yang luas untuk mengimbangi semakin besar dan tingginya angkatan kerja di Indonesia juga harus dilakukan, dengan menciptakan aktivitas-aktivitas ekonomi dan sosial yang menjauhkan diri dari jalanan. Karena bila dilakukan pemindahan atau mengalokasikan mereka, malah eksisitensi aktivitas ekonomi dan sosial di jalanan akan tetap tegak.
Jalu

Tidak ada komentar: