Selasa, 04 Maret 2008

SITUASI KORBAN ESKA DI SURABAYA


Situasi Korban ESKA di Surabaya *)

Sejak Indonesia ikut meratifikasi KHA (konvensi Hak Anak) pada tahun 1990 maka sejak itu pulalah Indonesia mengakui bahwa anak memiliki beberapa hak yang terdapat di dalmnya. Khususnya masalah eksploitasi seksual komersial pada anak terdapat point yang sangat yakni mengenai pelarangan bagi siapapun untuk melakukan aktivitas yang mengarah pada aktivitas eksploitasi seksual komersial pada anak. Kemudian dengan ikut sertanya negara Indonesia meratifikasi KHA berarti negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan pelarangan bagi siapapun yang memasuki wilayah negaranya yang melakukan aktivitas eksploitasi seksual komersial pada anak (untuk selanjutnya kita sebut sebagai korban ESKA). Selanjutnya pada tahun 1996 Indonesia telibat dalam perumusan dan kesepakatan lagi dalam pertemuan di Stockholm, yang didalamnya melahirkan beberapa agenda (dikenal dengan Stockholm Agenda) yang memberi pijakan dasar bagi berbagai negara, lembaga internasional dan nasional dalam menentang adanya ESKA. Kemudian pada tahun 2000, terbit pula protokol KHA mengenai pelarangan terhadap perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak yang diadopsi dari dewan Umum PBB pada tgl 25 Mei 2000, ini semakin mempertegas bahwa upaya menentang adanya ESKA dari dunia Internasional juga semakin besar. Munculnya beberapa kesepakatan internasional menentang ESKA karena didasar pada sangat urgent dan apabila tidak sesegera mungkin melakukan pencegahan, penghentian dan upaya rehabilitasi korban maka terjadi kondisi terburuk yang lebih panjang pada masa depan anak-anak.
Di Indonesia sendiri, pemerintah saat ini sedang mengupayakan sebuah rencana aksi nasional menentang ESKA, namun tentu saja membutuhkan proses yang akan memakan waktu mengingat besarnya tingkat persoalan yang dihadapi. Di sisi lain korban sudah berjatuhan, anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan prostitusi dan pornografi di berbagai daerah di Indonesia semakin membesar jumlahnya dengan tingkat kualitas kasus yang berat. Dari beberapa kasus yang terungkap misalnya anak-anak yang disekap di Tanjung Balai Karimun, Batam, oleh jaringan kepolisian Jawa Barat adalah salah satu kasus diantara ribuan kasus yang belum terungkap. Ada beberapa hal yang menjadi faktor mengapa persoalan perdagangan anak untuk tujuan prostitusi menjadi persoalan yang sulit diungkap, misalnya saja persoalan belum siapnya aparatur pemerintah dalam menyiapkan intrumen untuk penegakan hukum. Apalagi stigma yang muncul di masyarakat tentang anak-anak yang terjebak dalam perdagangan manusia ini sangatlah buruk. Hal ini tentu saja turut menyulitkan para aktivis pemerhati masalah ini untuk sesegera mungkin melakukan tindakan penentangan secara besar-besaran.
Adanya perdagangan anak untuk tujuan prostitusi ini tentu saja tidak begitu saja muncul. Terdapat beberapa faktor yang mendorong ini menjadi kian marak. Secara umum faktor kemiskinan menjadi persoalan terdepan, budaya patriarkhi yang buruk serta menigkatnya jumlah peminat (disinyalir para pedofil makin banyak di Indonesia). Misalnya yang ada di Surabaya kalau ditilik lebih jauh anak-anak yang menjadi korban umumnya adalah berasal dari keluarga miskin, anak perempuan yang mengalami seksual abusing and violence dan banyaknya tempat-temapt yang sengaja disediakan untuk para pedofil mendapat anak-anak. Gambaran lebih lanjut mengenai situasi korban ESKA di Surabaya dapat dipilah menjadi tiga karakteristik, yakni:
 Korban ESKA di lokalisasi
Situasi yang muncul sangat nampak pada proses perdagangannya. Dari gambaran situasi hasil observasi mendalam oleh tim KOMPPAS, korban ESKA berasal dari daerah-daerah miskin di Jatim (Bojonegoro, Malang selatan dan Gunung Kawi). Mereka dijual dengan cara direkrut dari desa tempat tinggal mereka oleh para calo. Calo-calo ini pada umumnya adalah perempuan mantan pekerja seks dari desa yang sama. Dengan bujuk rayu akan pekerjaan yang mapan di Surabaya. Calo-calo melakukan penipuan kepada keluarga korban yang rata-rata sangat miskin dan berpendidikan rendah. Setelah anak-anak ini di bawa ke Surabaya. Mereka akan difoto dan calo akan melakukan lelang atas diri anak-anak kepada para germo yang ada di dua lokalisasi yakni Bangunsari dan Tambak Asri (dua lokasi ini berdekatan). Selain melalui foto, kadangkala lelang berlangsung di rumah calo atau tempat yang telah ditentukan bersama anatar calo dan germo secara langsung. Calo lainnya sering dijumpai adalah ibu dari anak-anak itu sendiri, mereka berasal dari kampung-kampung kumuh sekitar lokalisasi. Sang ibu akan langsung mengantarkan anak mereka ke germo-germo di kedua lokalisasi ini.
Dapat dibanyangkan bagaimana kondisi psikologis anak ketika tahu bahwa mereka diperjualbelikan secara vulgar (beberapa diantaranya harus diraba-raba dan diperiksa organ-organ tubuhnya oleh para germo sebelum menentukan harga yang diajukan). Setelah mendapat kesepakatan harga (rata-rata 1 anak terjual dari termurah Rp 500.000- termahal Rp 2.000.000), para calo menyerahkan anak-anak ini kepada germo dan ditempatkan di wisma-wisma kecil milik mucikari.
Esoknya, ketika malam hari berlangsung transaksi antara germo dengan konsumen di lapangan sepak bola yang sangat terbuka. Lokasi lapangan ini sontak berubah menjadi pasar malam yang sangat ramai. Anak-anak ditempatkan di dalam lapangan dengan didampingi masing-masing germo, sedangkan para konsumen akan berkeliling sambil menanyakan sekaligus tawar-menawar harga (kami katakan bak pasar sapi saja). Sekali lagi anak-anak ini mengalami tekanan yang amat berat secara psikologis dan tentu saja akan mengalami trauma sepanjang hidupnya, apalagi usia mereka rata-rata 13-17 tahun. Selanjutnya setelah proses jual beli dilakukan, kondisi buruk tidak berhenti begitu saja. Kejadian seperti kekerasan oleh tamu karena tidak puas ketika dilayani atau ketika para tamu ini mabuk berat, dan germo yang seringkali melakukan tindak kekerasan apabila anak-anak ini mogok bekerja. Dengan rata-rata penghasilan Rp 25.000/short time, anak-anak masih harus setor ke mucikari mereka Rp 5000 dan ongkos keamanan Rp 1500,-. Keamanan lokalisasi sangat erat kaitannya dengan bisnis keamanan oleh koramil setempat. Ancaman dari para germo kepada mereka seakan menutup hiddup mereka dari kebebasan. Sampai saat ini perkiraan kasar besar prosentase dari seluruh pekerja seks di situ sebanyak 40% adalah ESKA dari sekitar lebih dari 500 orang PSK.
 Korban ESKA di jalanan
Berbeda dengan teman-teman mereka di lokalisasi, anak-anak ini adalah korban ESKA dengan konsumen kelas menengah keatas. Dengan peran besar germo, anak-anak ini langsung diperdagangkan kepada konsumen di jalan-jalan protokol dan diskotik (setelah tengah malam mereka berpindah ke diskotik). Anak-anak ini berasal dari desa-desa miskin di Jatim yakni Malang Selatan, Banyuwangi, Probolinggo dan Surabaya sendiri yakni mereka yang tinggal di kampung-kampung kumuh di pinggiran kota Surabaya. Awalnya anak-anak ini adalah pekerja anak di pabrik, sektor domestik/PRT dan pelayan toko. Banyak hal yang menyebabkan mereka terjebak pada rayuan germo, antara lain karena:
- Pernah diperkosa juragannya, mandornya atau teman seprofesi kerja
- Pernah mengalami abuse dari tempat ia bekerja
- Dibujuk mendapat uang banyak dan pada saat itu anak-anak ini sedang dililit masalah keuangan dengan keluarganya.
- Mengalami ketergantungan obat, biasanya sebelumnya anak-anak diberi gratis oleh teman-teman baru mereka di jalan selepas mereka keluar dari pekerjaan semula.
Anak-anak ini biasanya tinggal berkelompok dengan teman-temannya dalam kost-kost an sempit di pusat kota Surabaya. Satu grup kost biasanya digermoi satu orang. Peristiwa sangat buruk seringklai mereka alami ketika bekerja. Beberapa kasus yang ditemukan oleh tim ALIT sepanjang tahun 1999-sekarang, adalah kekerasan seksual yang dilakukan para tamu. Misalnya anak digilir beramai-ramai sampai 7 orang dan dibuang di luar kota. Ini terjadi karena anak-anak setelah dibooking akan dibawa sesuka hari sang tamu. Dan apabila lokasi yang dipilih itu jauh dari tempat teman-teman mereka berkumpul, maka tak jarang anak pulang ke kost dalam keadaan hampir pingsan atau menangis meraung-raung karena peristiwa buruk yang dialami malam sebelumnya. Belum lagi apabila konsumennya adalah orang asing, rata-rata selalu meminta adegan seksual seperti dalam film blue yang ditayangkan di kamar-kamar hotel. Salah satu kasusnya adalah anak dipaksa memperagakan adegan dengan dibanting-banting badannya dan kemaluan anak ini dimasuki botol minuman keras. Dapat dibayangkan trauma yang dialami anak setelah mengalami peristiwa ini. Peristiwa lainnya adalah garukan yang dilakukan polisi dan pamong praja. Dalam peristiwa garukan anak mengalami kekerasan kembali, mereka dipaksa untuk diambil darahnya dengan tidak menggunakan jarum suntik yang steril yang dikatakan oleh petugas untuk sampel darah test HIV/AIDS. Beberapa diantaranya dipaksa melayani polisi dengan ancaman pistol bila menolak, dirampas uang mereka oleh petugas serta barang-barang berharga yang mereka miliki. Belum lagi ketergantungan obat (shabu, extacy dan putaw) yang dialami hampir 99% anak-anak ini. Setiap hari mereka dipaksa menggunakan obat ini oleh tamu, atau mereka sendiri akan membeli sendiri. tiga kali kasus over dosis tertolong oleh klinik ALIT menunjukkan bahwa seringkali anak menggunakan obat sebelum transaksi dan ketika “berhubungan” dengan tamu dan akan kembali memakai denan jenis lainnya setelah meneima uang dari germo. Satu kasus anak tewas karena overdosis ditemukan subuh di pinggir jalan. Jumlah mereka saat ini berkisar antara 80% dari total PSK di jalanan dan diskotik dari sekitar 300 orang. Kasus lainnya yang muncul adalah anak-anak diorganisir oleh germo besar dan bandar besar untuk digunakan sebagai pengedar di daerah lain dan merekapun tetap akan diperdagangkan untuk konsumsi turis di Bali dan Singapura.

 Korban ESKA di slums area
Korban adalah anak perempuan di kawasan ini dan mereka rata-rata berasal dari Malang Selatan dan Pasuruan. Namun beberap diantaranya juga bersal dari Surabaya sendiri, yakni mereka yang keluarga tinggal di sekitar stasiun dan terminal. Anak-anak ini berpendidikan rendah, beberapa diantaranya keluarganya bercerai. Anak-anak ini memilih keluar dari rumah dan menjadi anak jalanan.
Dalam kehidupan jalanan inilah anak-anak mengenal dunia seks dan obat-obatan. Para calo melihat dengan jeli keberadaan anak-anak yang sedang bingung dan resah karena tak tahu arah dan tujuan mereka di Surabaya. Dengan bujukannya, akhirnya anak-anak ini di jual pada para konsumen. Rata-rata konsumen ini adalah para sopir angkot, kenek dan preman-preman terminal. Asal tahu saja perilaku para konsumen ini tentu identik dengan kekerasan, pemaksaan dan penganiayaan. Seringkali konsumen membeli dalam keadaan mabuk dan tak jarang sepulang dibooking anak dalam keadaan babak belur. Belum lagi kasus Penyakit Menular seksual yang rata-rata terjadi pada anak-anak ini, karena perilaku sehat pada konsumen dan anak-anak masih belum disentuh sama sekali, artinya perilaku beresiko tinggi dalam berhubungan seksual tejadi di sini baik bagi si anak maupun konsumen itu sendiri.
Melihat gambaran situasi korban ESKAdi Surabaya seperti di atas muncul pemikiran dari ALIT dan KOMPPAS yang selama ini telah melakukan observasi dan beberapa pendampingan terhadap korban ESKA yakni :
a. Bagaimana upaya menyelamatkan mereka dari resiko yang lebih buruk
b. Bagaimana membuka masalah ini pada publik dan pemerintah tanpa harus menimbulkan korban, mengingat jaringan yang terlibat juga begitu kuat.
Langkah yang sekiranya saat ini mampu dilakukan adalah memberikan beberapa layanan untuk mencegah kondisi lebih buruk pada korban dan melakukan intervensi lebih jauh dalam bentuk recovery sosial dan psikologis pada korban bagi mereka yang bersedia mengakses layanan kami. Dengan melakukan layanan bukan berarti kami tidak melihat peluang untuk diadvokasi. Tetapi layanan juga berarti sebagai media kita untuk melakukan monitoring atas pelanggaran HAM terjadi pada korban melalui catatan harian fasilitator lapangan dan secara rutin disusun dalam laporan yang lebih detail. Karena rasanya kurang mendalam bila sekedar dilakukan mapping atau bentuk penelitian lainnya karena kedalaman kasus seringkali terungkap dalam proses pendampingan.
Membuka jalur informasi bagi mereka diharapkan akan membuka pintu untuk kebebasan mereka dari cengkeraman dunia prostitusi.
*) Ditulis oleh Yuliati Umrah, Yayasan Arek Lintang (Alit) Surabaya

Tidak ada komentar: