Jumat, 11 April 2008

MENDESAK UU ANTI TRAFFICKING !!!!!!!

Mendesak, UU Anti Trafficking
PERDAGANGAN anak merupakan salah satu bentuk terburuk dari eksploitasi manusia. Meski tidak diketahui angka persisnya, Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan sekitar 1,2 juta anak, perempuan dan laki-laki menjadi korban perdagangan orang setiap tahun.
Tenaga anak-anak itu, perempuan dan laki-laki, dieksploitasi di perkebunan, di jalanan menjadi pengemis, di pertambangan, di pabrik, dijadikan serdadu di wilayah-wilayah konflik, dan sebagai pekerja seks komersial.
Di Indonesia, jumlah perempuan dan anak yang menjadi korban jaringan perdagangan perempuan tidak diketahui secara pasti. Laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak) tahun 2005 menyatakan, fenomena perdagangan orang semakin mengerikan terutama setelah krisis ekonomi dan bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia. Modusnya pun semakin beragam.
Misalnya, dari 6.750 perempuan yang dilacurkan di Malaysia, 62,7 persennya atau sekitar 4.200 perempuan berasal dari Indonesia. Dari jumlah itu, 40 persennya berusia di bawah 18 tahun, batas usia untuk kriteria anak menurut ILO.
Dalam Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, istilah trafficking tidak terbatas pada mereka yang dibawa untuk dieksploitasi secara seksual, tetapi secara lebih luas, juga dieksploitasi tenaganya.
Daerah yang memiliki kasus trafficking tertinggi di Indonesia menurut catatan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Namun tak berarti wilayah lain ”bersih”.
Jaringan kriminal itu mempunyai sejuta mata untuk mencari korban baru dan menciptakan kebutuhan akan itu. Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur adalah wilayah lain yang potensial. Sementara itu, Jakarta, Riau, Batam, Bali, Balikpapan, dan Papua dikenal sebagai daerah tujuan perdagangan orang, khususnya untuk keperluan eksploitasi seksual.
Data Dari Komnas Perlindungan Anak bulan Maret tahun 2005 menunjukkan peningkatan penjualan anak balita yang melibatkan sindikat internasional. Kalau pada tahun 2003 terdapat 102 kasus yang terbongkar, setahun kemudian menjadi 192 kasus. Jumlah anak yang menjadi korban perdagangan orang untuk dilacurkan di berbagai rumah bordil sekitar 30 persen atau 200.000-300.000 adalah perempuan di bawah usia 18 tahun.
Catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, dari 14.020 kasus yang teridentifikasi tahun 2004, 562 kasus di antaranya merupakan kasus-kasus perdagangan orang.
KARENA itu, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang seharusnya menjadi prioritas DPR untuk diselesaikan tahun ini.
”Mudah-mudahan RUU itu diselesaikan lebih dulu dibandingkan RUU Pornografi dan Pornoaksi,” ujar Valentina R Sagala dari Institut Perempuan, Bandung. Dari 55 RUU yang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang berada di urutan kesembilan.
Valentina menjelaskan, RUU itu merupakan inisiatif pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Presiden Megawati waktu itu juga telah menerbitkan Amanat Presiden untuk mengajukan rancangan itu ke DPR.
Dua kebijakan yang muncul secara hampir bersamaan itu, menurut Valentina, dapat dilihat sebagai tanggapan yang reaktif karena dalam laporan tahunan Trafficking in Persons yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri AS sejak tahun 2000, Indonesia dimasukkan ke dalam Tier-3, artinya tidak berusaha keras mencegah perdagangan manusia. Padahal tanpa itu pun, isu perdagangan orang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Pada tanggal 7 Maret tahun 2005, Komisi VIII DPR mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Aisyah, Muslimat NU, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia dan Solidaritas Perempuan untuk memperoleh masukan dalam Pembahasan Penyusunan RUU mengenai trafficking.
Banyak hal dibicarakan dalam pertemuan itu, termasuk upaya sejumlah organisasi perempuan memerangi perdagangan orang itu. Di situ pula didorong lahirnya UU Anti Trafficking, yang kini disebut RUU Pemberantasan Tindak Pidana Penjualan Orang. (mh)

Tidak ada komentar: