Jumat, 29 Februari 2008

ADA ANDIL MASYARAKAT PERTAHANKAN ANJAL

Ada Andil Masyarakat Pertahankan Anjal
ANAK jalanan telah menjadi sebuah entitas yang memiliki kebiasaan-kebiasaan dan budaya tersendiri. Mereka hadir di tengah masyarakat sebagai sebuah komunitas tersendiri, terutama masyarakat perkotaan.
Jalanan sebagai sebuah tempat bagi orang-orang "terbuang" adalah sebuah fakta sosial, yang muncul sebagai akibat derasnya arus modernisasi yang menggilas mereka yang tidak mampu mengikutinya. Umumnya mereka yang terjun ke jalan adalah orang yang terbuang, miskin dan papa. Jarang kita temukan mereka berasal dari kalangan menengah ke atas, kalaupun ada mereka adalah dari keluarga yang berantakan.
"Tanpa bermaksud mengukuhkan eksistensi mereka dan 'menganakemaskan', progam pengentasan anak jalanan ini harus dilakukaan untuk menarik mereka yang keterlibatannya di jalanan yang begitu besar. Karena di jalanan potensi konflik dan kekerasan, serta kerawanan sosial begitu besar, dan akan mengancam pertumbuhan anak yang seharusnya bisa dibina dengan baik oleh keluarga dan masyarakat untuk tumbuh menjadi generasi ideal diharapkan," kata sosiolog Dra. Susilawati, M.Si.
Dipandang dari sisi hak, anak jalanan adalah anak yang tidak dapat menikmati hak-haknya sebagai seorang anak. Hak atas pendidikan, kesehatan, identitas diri, apalagi pengasuhan yang layak. Hak-hak itu adalah merupakan barang yang demikian mewah bagi mereka. Dalam situasi yang demikian banyak kalangan yang menaruh perhatian dan ingin membantunya. Dalam membantu kehidupan anak jalanan, telah melahirkan beberapa konsep dan pendekatan dalam penanganan. Paling tidak ada tiga metode pendekatan yaitu; eliminasi, membangun dan penguatan komunitas jalanan, dan pemberdayaan melalui pengembangan kemampuan dan ketrampilan anak.
Pendekatan eliminasi berangkat dari asumsi bahwa kehidupan keluarga adalah kehidupan yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Untuk itu anak jalanan yang selama ini telah meninggalkan rumah, harus ditarik lagi ke rumah dan melakukan reintegrasi dengan keluarga. Oleh karenanya pendekatan ini lebih menekankan pada bagaimana anak dapat ditarik kembali ke rumah.
Berbeda dengan eliminasi, pendekatan penguatan komunias atau yang biasa dikenal dengan sub-kultur ini adalah kebalikan dari pendekatan eliminasi. Gagasan ini lebih dekat dengan gerakan budaya. Bagaimana komunitas dan budaya yang telah terbangun di jalanan harus dikuatkan, dan anak tidak dikeluarkan dari habitatnya, yaitu jalanan. Pendekatan ini lebih menekankan bagaimana membangun dan mengembangkan komunitas dan budaya di jalan, dimana tempat tersebut sebagai tempat dan sekaligus media untuk mengembangkan segala potensi dan nilai-nilai yang dibangun secara bersama oleh anak jalanan. Berdiri sebagai sebuah entitas yang diakui dengan segala budaya, kebiasaan, ciri, dan prestasi-prestasi yang dibuatnya adalah keinginan dari mereka yang mengusung gagasan ini.
Sementara pendekatan yang ketiga lebih menekankan pada pengembangan skill dan kemampuan anak. Gagasan ini lebih dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa siapapun orangnya, jika memiliki ketrampilan dan kemampuan, maka dia akan dapat lebih mandiri. Media-media pengembangan yang dilakukan dapat melalui media lukis, musik, atau bengkel. Titik tekan dari pendekatan ini adalah bagaimana anak lebih berdaya dengan skill dan kemampuan yang dimilikinya.
**
IDEALNYA, menurut Susi, dalam program anak jalanan ini melibatkan multi disiplin, agar bisa berhasil dan sesuai harapan. Seidaknya dalam menangani psikososial, harus ada keterlibatan psikolog dan pekerja sosial (sosiolog). Sementara untuk mengangkat ekonomi mereka maka organisasi masyarakat dan ekonom juga bisa memberdayakan mereka agar terbuka pikirannya untuk tidak melakukan aktivitas ekonomi di jalanan. Dan untuk perlindungan dan penegakan hukum, serta sosialisasi hukum, diperlukan mereka yang memahami hukum.
Begitupun dengan pendidikan dan agama, profesi pendidikan ini sangat diperlukan untuk bisa menangani anak jalanan yang putus sekolah dan masih sekolah tapi berada dijalanan. Sama halnya dengan masalah kesehatan yang harus ditangai oleh bagian kesehatan, agar jaminan sosial untuk kesehatan mereka bisa dirasakan, tanpa harus mereka turun ke jalanan untuk mencari biaya kesehatan.
"Penilaian ini dilakukan agar program yang dilakukan bukan malah mengakui eksistensi anak jalanan itu sendiri, sehingga programnya menjadi pemberdayaan. Sebisa mungkin melibatkan multidisiplin ini untuk merehabilitasi agar mereka tidak turun kembali ke jalanan, dan sebagai tanda kepedulian serta kesetiakawanan sosial kita yang merasa mampu mengangkat derajat mereka agar tidak tetap di jalan," tegas Susi.
Untuk keberhasilan pengentasan anak jalanan ini, bentuk program yang dilakukan tidak di jalanan lagi. "Tapi menarik mereka sejauh mungkin dari ingatan atau beraktivitas lagi di jalanan," imbuh Sekretaris Rumah Perlindungan Sementara (RPS) Teratai ini.
Sementara itu, bila dikaji lebih jauh, jika kita bisa meinimalisir mengapa mereka turun ke jalan, maka salah satu akar mata rantai lahirnya anak jalanan bisa diputus. Alasan mereka di jalanan, berdasarkan hasil survey yang dilakukan Universitas Atmajaya dan Departemen Sosial RI, 1999 lalu di 12 kota besar, dan wawancara langsung yang dilakukan Susi khusus di daerah survey Kota Bandung, mengindikasikan beberapa hal tentang anak jalanan:
- Mereka ada dijalanan karena alasan ekonomi. Sebanyak 50%, mereka yang turun kejalanan merupakan golongan yang ingin membantu kesulitan ekonomi keluarga. 11,4 % lainnya beralasan untuk menghabiskan waktu luangnya, setelah gagal sekolah (putus sekolah). Sementara mereka yang tetap bertahan dan ingin sekolah juga memaksakan diri dengan mencari uang di jalanan untuk biaya sekolah, serta tambahan uang saku. Sementara itu, 7% di antaranya juga beralasan tidak ada tempat lain untuk mencari aktivitas ekonomi, selain bekerja di jalanan. sebanyak 1,2 % lainnya juga ada yang merasa tidak betah ketika tinggal di rumah akibat perlakuan orang tua yang salah, kekerasan, pertengkaran. Ketertekanan ini yang mendorong mereka mencari tempat yang cocok, dan menjadi anak jalanan adalah salah satu alternatifnya. Ada 2,6% lainnya yang menyatakan ia ingin merasa bebas dari aturan dan dogma keluarga serta masyarakat. Alasan ini juga ada yang didorong oleh pencarian aktivitas sosial dalam konteks mencari teman. Dari hasil survey juga ditemukan ada di antara mereka yang turun ke jalanan akibat terpisah dengan orang tua.
Dari hasil survey ini juga diindikasikan adanya eksploitasi orang tua, dengan adanya paksaan untuk melakukan aktivitas ekonomi di jalanan. "Walaupun prosentasenya kecil sekira 0,7% , namun indikasi yang menunjukkan ke arah tersebut semakin signifikan datanya," imbuh Susi.
Masih menurutnya, Setidaknya ada tiga hal penting dalam kacamata ilmu sosiologi dalam konteks permasalahan di Indonesia, yang menjadi alasan kenapa mereka ada dan bertahan di jalanan.
Pertama, individu dan keluarga. Latar belakang individu dan keluarga merupakan faktor utama yang mendorong mereka hidup di jalanan.
Kedua, lingkungan masyarakat. Tidak adanya mekanisme yang bisa membuat pertolongan bagi mereka dalam mengatasi kesulitan individu dan keluarga tadi, akan mendorong dan mengukuhkan eksisitensinya agar tetap ada di jalanan, seperti masyarakat setempat tidak memberikan tempat untuk mengisi waktu luang bagi mereka yang memiliki potensi untuk turun ke jalan. "Nilai-nilai di masyarakat yang memberi makan anak di jalanan ini salah satu faktor utama kenapa anak jalanan sulit dihilangkan," kata Susi.
Ketiga, struktur sosial secara luas. Krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan banyak orang tua mengalami keterpurukan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja, menurunnya daya beli ditengah harga yang melambung tinggi, banyak anak-anak yang terpaksa harus meninggalkan orang tua dan rumah mereka karena orang tua tidak mampu memberikan perlindungan ekonomi. Begitupun ketika ia harus putus sekolah, mereka banyak waktu luang dan mendorong mereka melakukan aktivitas ekonomi di jalanan.
Struktur sosial di Indonesia yang mengalami kerapuhan, terutama di kota-kota besar menjadi pemicu kerawanan sosial, dan salah satu di antaranya adalah menjadi anak jalanan. "Hal ini yang harus diperhatikan pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan publik, sehingga kerawanan sosial ini tak semakin meluas dan semakin rapuh, selain memperbaiki ekonomi yang sedang terpuruk," kata Susi.
Selain itu, lanjut Susi, penyediaan lapangan pekerjaan atau kesempatan kerja yang luas untuk mengimbangi semakin besar dan tingginya angkatan kerja di Indonesia juga harus dilakukan, dengan menciptakan aktivitas-aktivitas ekonomi dan sosial yang menjauhkan diri dari jalanan. Karena bila dilakukan pemindahan atau mengalokasikan mereka, malah eksisitensi aktivitas ekonomi dan sosial di jalanan akan tetap tegak.
Jalu

Rabu, 27 Februari 2008

PENGADILAN KONVENSIONAL BUKAN CARA TERBAIK ATASI ANAK PELANGGAR HUKUM

Pengadilan Konvensional Bukan Cara Terbaik Atasi Anak Pelanggar Hukum
LIHAT saja data di Pengadilan Negeri Bandung. Kasus kejahatan anak yang masuk pengadilan tahun 2001 ada 82 dari total 1378 kasus. Di tahun 2003 jumlah kasus kriminal anak-anak meningkat menjadi 93 dari total kasus 1704. Dan 2003 kasus anak yang ditangani sebanyak 52.
Sementara dari jenis kejahatan yang dilakukan selama 2001, 38 di antaranya berkaitan dengan pencurian, diikuti dengan narkotika 11 kasus, senjata tajam 10 kasus serta pemerasan 7 kasus. Yang lainnya seperti kasus-kasus psikotropika, perbuatan cabul, penganiayaan, penipuan dan penggelapan, serta perjudian.
Pada tahun 2002, kasus pencurian meningkat menjadi 52 kasus, namun masalah senjata tajam, perbuatan cabul, penipuan/ penggelapan, dan pemerasan menurun. Kasus penganiayaan meningkat menjadi 7 kasus dari semula (2001) 5 kasus. Kasus yang menonjol adalah pemerkosaan yang meningkat dari tahun 2002 ke 2003, semula 1 kasus menjadi 2 kasus.
Saat ini PN Bandung tengah menyidangkan kasus pembunuhan yang dilakukan seorang siswa SMU dan korbannya adalah temannya sendiri. Gara-garanya sepele saja, dari obrolan mereka yang kian memanas, pelaku mengatakan "Ku aing dibacok siah!" Ternyata korban justru menantangnya dengan ucapan "Sook!"
Terdorong emosi, pelaku membawa clurit dari mobilnya dan menyabetkannya ke leher korban yang menyebabkan korban tewas. Proses persidangan kasus tersebut kini masih dalam tahap pemeriksaan saksi.
Kecenderungan meningkatnya jumlah kasus kejahatan yang dilakukan anak diakui Kasubseksi Bimbingan Kerja Anak Badan Pemasyarakatan (Bapas) Kelas 1 Bandung Nanang Supriaman, SH. Bapas Bandung yang wilayah kerjanya meliputi Kota dan Kabupaten Bandung, Kab. Subang, Kab. Purwakarta, Kab. Garut, Kab. Karawang serta Kota dan Kabupaten Sukabumi rata-rata menangani sekira 30 kasus kejahatan anak per bulannya. Mereka rata-rata berusia antara 14 hingga 18 tahun.
Bukan hanya kuantitasnya yang meningkat tetapi kualitas tindakannya juga kian berat. Misalnya semakin banyak anak yang melakukan tindak perkosaan. "Tahun ini (Januari & Februari 2004-red) saja, saya mendampingi empat anak yang terlibat kasus perkosaan," ujar Nanang yang ditemui sesaat sebelum sidang di PN bandung, Rabu (11/2).
Dari pengalamannya mendampingi anak yang bermasalah dengan hukum diketahui sebagian besar tindakan mereka dipicu oleh kondisi keluarga. "Kebanyakan mereka berasal dari keluarga broken home. Orang tua mereka bercerai sehingga mereka merasa tidak ada yang memerhatikan," jelas Nanang.
Tindakan pencurian umumnya dilakukan oleh anak yang kondisi sosialnya termasuk golongan menengah ke bawah. Sedangkan anak dari kalangan menengah ke atas biasanya terlibat kasus narkoba atau perkelahian.
Selama ini bapas berusaha agar anak yang bermasalah dengan hukum mendapat vonis dikembalikan kepada orang tuanya. Kecuali jika orang tuanya menyatakan tidak mampu lagi mendidik anaknya, maka anak tersebut akan menjadi anak negara di LP Tangerang.
"Tapi tentu saja kami memantau terus perkembangan anak tersebut, baik yang dikembalikan kepada orang tuanya ataupun yang menjadi anak negara, sesuai putusan hakim," tandas Nanang.
Soal efektif tidaknya putusan hakim untuk mencegah anak mengulangi perbuatan serupa, menurut Nanang, tergantung pada mental si anak sendiri serta lingkungan pergaulannya. "Ada anak yang diputus dikembalikan kepada orang tuanya, tetapi karena lingkungan pergaulannya buruk, ia kembali melanggar hukum. Tetapi ada yang diputus menjadi anak negara ternyata menjadi anak soleh ketika kembali ke masyarakat, " papar Nanang.
Untuk menekan terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan anak, perlu upaya dari berbagai pihak. Dari luar, masyarakat membantu terciptanya lingkungan yang baik, sedangkan dari dalam (keluarga) dibiasakan adanya keterbukaan dan komunikasi yang intens antara orang tua dengan anak. Selain itu pendidikan moral dan agama kepada anak sangat menentukan perilaku anak.
Sementara itu praktisi hukum dan kriminolog Agustinus Pohan menjelaskan data yang ada di pengadilan belum signifikan bila dikaitkan dengan konflik hukum yang pelakunya anak-anak. Karena boleh jadi yang tercatat hanyalah kasus-kasus yang berhasil ditangani pihak kepolisian dan pengadilan. Padahal masih banyak perilaku nakal anak yang mengganggu lingkungan sosial tetapi tidak mencuat ke permukaan.
Banyak kasus kenakalan anak yang berhasil diselesaikan oleh masyarakat dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Namun, yang dikhawatirkan proses penyelesaiannya keluar dari konteks pembelajaran bagi anak. Sehingga anak tidak mendapatkan pendidikan dari apa yang dilakukannya sebagai pengalaman hidup.
Bahkan mungkin karena proses penyelesaiannya yang kurang tepat cenderung mendorong anak untuk melakukannya kembali.
"Sebagai contoh kasus yang diselesaikan melalui kompromi dengan memberikan sejumlah uang tebusan sebagai upaya damai," kata staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan ini.
Bila ini diketahui anak, dia akan berpikir semudah itulah bentuk penyelesaian terhadap pelanggaran aturan di masyarakat. Tak heran bila nanti di benaknya terpatri, uang bisa memainkan hukum dan menjadi patokan dalam cara penyelesaian masalahnya. "Bukankah itu secara tidak langsung mendidik anak untuk berkolusi dan korupsi?" imbuhnya.
Sebagian besar pelanggaran hukum oleh anak diselesaikan di luar proses peradilan. Itu bisa dilihat dari jumlah anak yang ada di lembaga pemasyarakatan. Padahal mungkin kenakalan yang mereka lakukan lebih banyak lagi, sebut saja kasus di lingkungan keluarga atau di masyarakat yang banyak diselesaikan dengan jalan damai.
Sebagai jalan keluar dari bentuk penyelesaian terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, saat ini UNICEF dibantu Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat sedang melakukan observasi dan mencarikan pemecahannya melalui sebuah model yang dikenal dengan istilah Restorative Justice (keadilan yang memulihkan).
Resorative Justice menurut Sri Yudha Ningsih, pengurus dan anggota Working Group Restorative Justice, akan menjadi bentuk penyelesaian konflik anak dengan hukum berdasarkan partisipasi masyarakat. Jadi kasusnya tidak sampai ke pengadilan dan diproses secara hukum, tapi cukup diselesaikan pada tingkat forum atau komunitas di masyarakat dengan jalan kekeluargaan.
"Kan alangkah dirugikannya bila seorang anak yang mencuri sandal lantas dihukum sama dengan kejahatan atau kriminalitas lain. Seolah-olah derajatnya jadi sama di mata anak. Belum lagi perlakuan yang salah saat pemasyarakatan yang akan semakin memburuknya perilaku dan masa depan bagi anak itu sendiri," ujar Sri.
Restorative Justice akan menjadi wadah bagi penyelesaian konflik-konflik hukum yang ringan, yang masih bisa diselesaikan di masyarakat tanpa harus masuk ke meja pengadilan. "Untuk jenis kejahatan yang belum bisa ditolerir, seperti perusakan atau penganiayaan terhadap tubuh hingga penghilangan nyawa, dan narkotika tidak cukup diselesaikan dengan model ini. Ada pengecualian," jelas Pohan.
Dalam Restorative Justice sendiri, ada prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, pengakuan bersalah dari anak. Pemulihan atau rehabilitasi harus dimulai dengan pengakuan atau rasa bersalah anak yang diungkapkan sebagai bentuk penerimaan terhadap perilakunya yang tidak sesuai dengan norma atau hukum yang berlaku. Kedua, ada penerimaan dari korban dan masyarakat yang telah merasa dirugikan akibat perbuatan yang dilakukan anak tersebut. Penerimaan ini sangat penting supaya anak tidak merasa bersalah bekepanjangan. Jadi dirinya sendiri dapat cepat beradaptasi kembali untuk memperbaiki perilakunya yang buruk.
Ketiga, harus ada kesadaran dari orang yang menjadi korban untuk menerima dan mengakui permohonan maaf yang dilakukan anak. Konsekuensi dari ini bisa diwujudkan dengan berbagai bentuk. Misalnya anak dibebaskan begitu saja tanpa ada imbal balik yang harus dilakukan. Sebut saja dengan mengembalikan kerugian atau memberikan suatu bentuk punishment sebagai upaya menebus kesalahan yang telah dilakukan anak. Antara lain menugaskan anak menjalani masa pemulihan dengan melakukan aktivitas yang disetujui sebagai cara mendidik agar mentaati sebuh peraturan. Tentunya tugas atau pekerjaan yang dibebankan tidak memberatkan dan melanggar hak-hak anak.
Keempat, adanya kerelaan dalam penegakan hukum. Dalam Restorative Justice tidak ada istilah peradilan dan lebih menonjolkan musyawarah. Akan tetapi penerimaan korban terhadap permohonan maaf dari anak, sudah menjadi upaya penegakan hukum dengan mengutamakan keadilan dalam pemulihannya.
**
PERLUNYA didorong adanya sebuah model penanganan konflik anak dalam hukum, karena menurunnya kesadaran kolektif masyarakat. Mereka cenderung tidak peduli lagi terhadap individu lain di sekitarnya. Saat ini masyarakat lebih banyak memercayakan penyelesaian kenakalan anak kepada sistem hukum konvensional yang mengatur tata nilai di masyarakat. Padahal, hal ini belum menjadi solusi terbaik dalam mengatasi masalah-masalah sosial.
"Nantinya bisa lebih banyak lagi anak-anak berkonflik hukum yang masuk dalam sistem peradilan anak. Sedangkan peradilan anak sebenarnya tidak mendidik dan tidak memberikan perlindungan yang baik bagi anak," kata Sri Yudha Ningsih.
Problem sosial ini harus segera diatasi, karena semakin metropolisnya suatu masyarakat, mereka akan lebih memilih sikap kepraktisan dalam mengambil keputusan. Mereka tidak peduli lagi dengan masalah orang lain. Yang dilihatnya adalah kepentingan pribadi dari yang merasa dirugikan. "Tentunya ia akan cenderung memilih lembaga peradilan untuk menyelesaikan konflik hukum yang menimpanya, sekalipun pelakunya adalah anak," kata Pohan.
Pendekatan lembaga pengadilan lebih berpihak pada pembuktian salah atau tidak salah, dan menuntut anak dengan sikap pembalasan terhadap kenakalan yang dilakukan. Hal itubisa menimbulkan masyarakat pendendam yang nantinya malah akan mengancam serta meresahkan masyarakat sendiri. Ketika pelaku merasa terbuang dan dipersalahkan terus menerus, dia akan balik menyalahkan masyarakat yang tidak care terhadap dirinya.
Di negara maju pun penerapan sistem peradilan konvensional yang ketat, ternyata tidak memberikan solusi dalam mengatasi problem sosialnya. Bahkan bentuk partisipasi kejahatan anak juga semakin tinggi. Sebagai contoh munculnya kasus pembunuhan oleh anak yang begitu sadis dan mengerikan. "Mereka menganggap anak adalah orang dewasa kecil, yang dapat diperlakukan sama dengan orang dewasa. Hanya dalam beberapa hal yang dianggap kurang mampu dilakukan anak dikurangi bebannya.
"Hal ini tidak bisa dilakukan demikian. Walapun bentuk pengurangan hukuman telah dilakukan, namun mendidikkah cara yang dilakukan?," kata Pohan.
Restorative Justice ternyata juga akan bermanfaat secara ekonomi, baik bagi pemerintah maupun masyarakat, karena akan mengurangi beban biaya penyelesaian perkara. Manfaat terpenting adalah mendidik anak dalam proses penyelesaian konflik dengan hukum, dengan menciptakan kesadaran dan membinanya untuk tidak melanggar hukum. Juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk berperilaku baik sesuai tuntutan masyarakat.
Keuntungannya bagi masyarakat adalah terciptanya lingkungan sosial yang lebih baik, dengan menekan konflik yang bisa muncul dikemudian hari.
Baik, Nanangg, Pohan, Sri, maupun Marisa, sepakat bahwa tidak ada istilah "Narapidana" bagi anak. Bila dia berkonflik hukum hanyalah kenakalan semata yang telah dilakukannya. Kenakalan ini yang seharusnya disoroti dan dicarikan jalan keluar agar perilakuknya bisa dirubah sesuai dengan etika dan norma yang berlaku.
"Pelabelan pada anak yang salah akan mendorong perilaku yang salah juga bagi anak. Anak akan merasa bahwa cap yang diberikannya sebagai bentuk pengakuan, dan ini yang berbahaya. Apalagi pada anak yang bermasalah dalam hubungan sosialnya dia akan terus mencari bentuk-bentuk pengakuan yang bisa diterimanya, bahkan pada remaja sebagai bentuk penemuan jati diri serta identitas pribadinya," kata Marisa.

Senin, 25 Februari 2008

KOCKIN ON HEAVEN'S DOOR


Knockin On Heaven's Door


Terbaring tak berdaya akibat sakit thypus bukanlah pilihan yang
menarik bagiku, tapi itulah yang menimpa diriku. Oya, namaku Dave,
temanku di geng Moonraker - Bandung menjulukiku "Dewa Vodka" sebab
aku percaya Vodka adalah sahabat setiaku, lebih dari seorang pacar,
lebih dari bokap en nyokap, lebih dari apapun pada saat itu bahkan
Tuhan.Memang aku bukan saja pecandu minuman beralkohol namun juga
mengkonsumsi obat2an daftar G , ganja dan teman2 sejenisnya. Namun
Vodka is the best bagiku. Vodka menjadi sumber sukacitaku,
pelarianku, inspirasiku,dll…dll.
Akibat kebiasaanku itulah aku terbaring di RS St. Borromeus Bandung,
di saat ultahku yang ke 21, aku berada di atas tempat tidur tak
berdaya. Beberapa hari sebelumnya di saat aku buang air besar,
kotoranku bercampur darah dan bagian "jeroan" tubuhku rasanya diiris-
iris serasa ada beling di dalam usus hingga aku menggeliat di dalam
toilet. Saat cek pada dokter, aku diharuskan masuk RS, sebab harus
total bed rest, akibat sakit thypus.Harus berdiam diri dan terbaring
di rumah sakit merupakan hal yang paling "boring" bagiku."Oh apa yang
harus kulakukan?"……baca buku?....dengar musik?....godain
suster?...becandain kepala suster yang gembrot en punya wajah killer
di ujung gang RS?
Di saat terbaring tak berdaya itulah, karena dirawat di rumah sakit
yang dikelola oleh gereja Katholik maka tiap pagi, aku mendengar
bunyi lonceng kapel gereja yang modelnya gothic banget....kulihat
para suster Katholik berjalan menuju kapel untuk berdoa. Aku
tersadar, aku sudah berjalan sangat jauh dari Tuhan, akibat
kekecewaan terhadap orangtua, Tuhan, gereja dan akumulasi luka2 dalam
hati sepanjang kehidupan ini...aku telah melangkah begitu
jauh....dosa2ku bejibun alias bertumpuk2 dan bila aku harus menebus
dosaku rasanya ga mungkin banget. Aku anak geng, hidupku
ngawur....sebelum itupun sejak usia 10 tahun aku sudah jadi budak
alkohol. Bagaimana mungkin Tuhan mau terima aku, aku sudah jadi budak
dosa selama ini en aku malah enjoy buat dosa? Aku tahu berada dalam
jalan yang salah tapi bagaimana aku bisa keluar? Apakah Tuhan mau
menerima aku yang penuh dosa dan ketidaksempurnaan ini?
Suatu hari masuklah salah satu anak muda yang terkena sakit yang sama
di kamarku, aku lupa namanya, yang aku ingat dia saat itu kuliah di
Universitas Parahyangan. Kita biasa becanda dan kalo ngobrol nyambung
berhubung sesama penggemar lagu2 cadas. Suatu hari dia menyetel lagu
lama Bob Dylan, yang saat itu dinyanyikan kembali oleh grup cadas
Gun's N Roses, Knockin On The heaven's Door. Saat tembang itu diputar
tiba2 hatiku tersentuh, dalam hatiku terbersit bila aku
mengetuk "pintu surga" maukah Tuhan membuka pintuNya bagiku?
Sebagai seorang anak geng, aku jenuh dengan kehidupanku, aku mencari
kedamaian tetapi aku tidak pernah sungguh2 mengalaminya dan
mendapatkannya dari Vodka atau narkoba, aku juga tidak mendapatkannya
dari cewe2ku atau dari persaudaraan dalam gengku, Moonraker. Malam
itu aku tertidur dengan sebuah tanda tanya, apakah Tuhan itu ada? Dan
kalau Dia ada maukah Ia menerima diriku ini?
Keesokan paginya, setelah diseka oleh suster, aku melihat keluar
jendela...mentari mengintip dari ufuk timur dan menyinari wajahku.
Aku merasa seolah2 pintu surga terbuka dan Tuhan berbicara bahwa Ia
menerimaku apa adanya.
Tuhan adalah sahabat para pendosa, Ia mengasihi kita semua, Ia benci
dosa bukan pendosa/pelaku dosa. Kalau kita mau datang pada Dia, maka
Ia akan tolong kita keluar dari jeratan dosa.
Aku telah ditolak oleh institusi gereja karena penampilanku yang
rocker abis, tetapi "for sure" Yesus ga pernah menolak aku. Sebab
manusia melihat yang tampak tetapi Tuhan melihat hati kita. Bajingan
atau bukan, tidak ditentukan dari penampilannya, tetapi dari hatinya.
Manusia dapat menolak kita tetapi Tuhan tidak pernah menolak setiap
pendosa yang datang memohon ampun dan pertolongan padaNya. Sebelum
kau mengetuk "pintu rumahNya", Ia sudah berlari mendapatkanmu dan
menyambutmu....menghujanimu dengan kasih karunia dan anugrahNya. Ini
pengalamanku bersama Dia, ketika aku masih berdosa dan tak
sempurna.....ketika aku jauh ketaatan.....Dia menjamahku lewat lagu
metal...kesukaanku, KNOCKIN ON THE HEAVEN'S DOOR. Dia menerimaku apa
adanya dan sejak saat itu aku mulai cinta ama Tuhan yang mau terima
diriku bukan jadi budaknya tetapi anakNya. Cool banget!

Undangan Bagi Generasi tanpa Ayah


Sebuah undangan bagi generasi tanpa ayah

Shalom,

Ada begitu banyak anak muda saat ini yang hidup tanpa memiliki figur seorang
ayah atau ibu, yang disebabkan oleh berbagai sebab musabab.
Saya sendiri tidak pernah mengenal ayah kandung saya sebab beliau telah
meninggalkan mama saat mengetahui mama hamil. Saya sendiri terlahir di luar
suatu lembaga pernikahan. Hingga orang dunia menyebut saya anak haram, suatu
cap yang sangat menyakitkan saat masa kecil saya dan mempengaruhi pertumbuhan
menuju kedewasaan.
Di luar sana saya percaya ada teman-teman yang mungkin mengalami hal yang sama
dengan saya atau paling tidak mengalami suatu masalah dengan figur ayah atau
bahkan ibu yang absent / tidak memperhatikan kita sebagai anak.
Mailing list Generasi tanpa Ayah diperuntukkan bagi mereka yang tengah
mengalami masalah di rumah ( terutama masalah dengan orangtua), mereka yang
telah mengatasi masalah luka bathin, mereka yang pernah "terluka di masa lalu"
dan saat ini tengah membangun bahtera rumah tangga ( kiat-kiat agar rumah
tangga kita tidak mengalami hal yang serupa) dan terbuka bagi siapa saja yang
hendak
bersama-sama membangun generasi ini menjadi lebih baik lagi.
Saya memiliki beban untuk melihat setiap orang percaya dapat bangkit
kembali dan berjalan menuju potensi penuh dirinya yang coba disamarkan oleh
Iblis. Iblis coba menghalangi anak-anak Tuhan untuk mengenal jati dirinya di
dalam Kristus agar mereka tidak dapat melakukan apa yang sebenarnya sudah
dirancangkan Bapa di surga bagi setiap individu yang ada di dunia ini. Kita
semua diciptakan sebab ada tujuan di dalam kehidupan kita sebab Tuhan kita di
dalam Kristus adalah Tuhan yang memiliki tujuan kekal.
Ayo, kita bersama-sama saling mengaku dosa dan berdoa agar terjadi pemulihan
dalam generasi ini. Kita lepaskan semua topeng kemunafikan yang sangat
melelahkan kita dan semua beban dalam hidup kita, agar kita dapat
berlari-larian menuju tujuan kekal kita bersama dengan Tuhan.
Saya dapat melihat bagaimana kasih Bapa terpancar melalui senyumanNya dan
pelukanNya yang hangat bagi setiap kita, memulihkan kita dari gambaran mengenai
orangtua yang salah, melepaskan kita dari segala bentuk kebenciandan kepahitan.
Come on guys, kita maju bersama jadi berkat untuk generasi itu namun tentunya
kita terlebih dahulu pun harus dipulihkan oleh Tuhan.
Untuk yang mau gabung silahkan kirim email ke davebroos@yahoo.co.uk atau mobile phone 081330135643.

Dave Broos
Gembala kaum terbuang

Founder dari The Eagles Nest Ministries Bandung, http://3a9l35-n35t.blogspot.com

(Overseer/ Penilik Shadow of the Cross - Indonesia , pelayanan bagi
kaum subkultur dan teen at risk)
www.shaddowcross.com (Michelle Morria Gollia, founder)

Fellow worker dari dua pelayanan penanaman gereja : Outreach Fellowship
International, Robert Fitts Sr, founder (www.robertfitts.com) dan DAWN
Ministries, John White, North America Coordinator (www.dawnministries.org)

Prayer Warrior dari :
Global Prayer Network, Ps. Roberto Wijnhoff (www.gpnetwork.com)

Mahasiswa Theologia dari :
Cathedral University, Founder Gwin Turner MA , BD, PhD
(www.cathedraluniversity.com)

Jumat, 15 Februari 2008

Surat Dari Gembala kaum Terbuang



Dear Bretheren,Hai ini Dave Broos, kami sekeluarga baru pindah ke kota Kembang, Bandung. Hati kamisekeluarga mendapatkan panggilan untuk melayani kaum subkultur/underground, yang selama ini mungkin belum tersentuh oleh gereja pada umumnya. Bagi anda yang belum mengerti orang jenis apa yang hendak secara spesifik kami layani diantaranya adalah kaum punk, gothic, skaters, bikers, anak-anak geng, orang-orang jalanan, dll. Setelah 17 tahun kami melayani di gereja mainstream, kami merasakan panggilan Tuhan bagi kaum yang selama ini terpinggirkan.Dan sangat sulit untuk membawa mereka ke gereja pada umumnya, saat saya berdoa bagi mereka, saya merasakan bahwa kini saatnya bukan membawa mereka ke gereja tetapi membawa gereja kepada mereka. Ada banyak orang yang merindukan Kristus namun mereka enggan pergi ke gereja pada umumnya sebab merasa berdosa, tidak layak, terasing dan dicurigai karena penampilan mereka yang berbeda.Saya teringat sebuah pengalaman di tahun 1992 ketika saya melayani di sebuah gereja sebagai seorang full-timer dan seorang pelacur pelabuhan masuk. Pandangan sinis dengan penuh kecurigaan terbersit dari tatapan para jemaat dan bahkan para pelayan Tuhan, tidak ada orang yang mau menyapa atau duduk bersebelahan dengannya. Ketikasaya berbicara pada para rekan full-timer yang wanita untuk menemani dan membimbing pelacur itu, mereka pun enggan mendekati dan takut apa nanti kata jemaat lainnya. Hingga akhirnya saya mendatangi dan menyapa pelacur itu, duduk di sebelahnya dan menyambut kedatangannya. Sesaat tampak kekakuan dan tembok pertahanannyamencair ketika ada seorang yang datang dan menyambutnya dalam kasih Kristus yang tulus. Bukankah Kristus pun disebut sahabat orang berdosa? (Matius 11:14)Di dalam pelayanan saya beberapa tahun ini , saya melihat bagaimana pemabuk, narapidana, pelacur jalanan, wanita panggilan kelas atas, dll datang pada Kristus ketika kita membuka diri, menerima mereka apa adanya di dalam kasih Kristus, tanpa menghakimi mereka dan pada waktu Tuhan, mereka datang pada Tuhan dalam pertobatan tanpa manipulasi atau intimidasi emosi, sebuah pertobatan sejati yang membuat sebuah hidup diubahkan.Saat ini kami melangkah dengan iman memasuki pelayanan yang baru, banyak orang yang mempertanyakan buat apa kami melayani orang-orang yang aneh itu. Ini sebagian contoh dari komentar beberapa rekan tercinta : "Mereka hanya akan menjadi sumber masalah dan beban bagi kalian sekeluarga". "Ada lagi yang mengatakan apa timbal baliknya? Mereka tidak akan dapat menghidupi keluargamu malah nanti menyulitkan kamu." "Jangan sok jadi pahlawan!" "Kamu terlalu idealis, nanti susah sendiri hidupmu." "Pelayananmu itu tidak popular, tidak akan ada orang yang mau mendukungmu, kecuali yang sama anehnya dengan dirimu." "You are alone, man." Apapun yang dikatakan mereka, saya tahu bahwa semuanya diucapkan karena mereka mengasihi kami sekeluarga, namun itu tidak akan menghentikan kami untuk melakukan apa yang Tuhan taruhkan di dalam hati ini.Ada pun tujuan saya menuliskan surat ini adalah untuk share dengan saudara-saudaraku seiman, pertama-tama mungkin bila ada teman-teman yang sudah terjun dalam pelayanan subkultur dapat berbagi cerita/pengalaman pelayanan sebab selama ini saya hanya memiliki teman-teman dari luar negeri yang memang sudah terjun dalam pelayanan jenis ini, yang tentunya secara kultural sedikit berbeda dengan subkultur di Indonesia.Selain itu hal yang kedua kami juga tengah mempersiapkan sebuah program "street ministry" sebagai contoh dimana kami merencanakan hendak membagi-bagikan pakaian bekas yang masih layak pakai, makanan & minuman yang sehat bagi para gelandangan dan pengobatan gratis secara periodik, sebagai sarana untuk menjembatani "friendshipevangelism". Jadi kami akan sangat senang bila saat ini dapat memiliki teman-teman yang mungkin terbeban mendukungnya. Dan bila ada ide-ide lainnya kami akan sangat senang mendengarkannya.Hal yang ketiga, saya juga akan senang sekali bila ada rekan-rekan musisi Kristen (dalam jenis musik underground, hiphop, rock,punk,dll) atau artis Kristen (DJ, dancer, pemain drama dll) yang punya hati untuk menjangkau anak-anak subkultur. Saya sangat ingin berkenalan dengan anda atau mungkin ada saudara atau teman, saya akan sangat bersyukur bila dapat berkenalan.Hal yang keempat, di dalam memulai pelayanan ini saya tidak memiliki sponsor dari gereja ataupun organisasi apa pun, maka kami memutuskan untuk mencoba sebuah self support ministry atau menjadi "tentmaker" seperti Paulus, bekerja membuat tenda untuk mencukupi pelayanannya sendiri (Kis 18:3). Kami ingin bergerak di dalam penjualan pakaian atau clothing, bagi saudara-saudara seiman yang memiliki usaha sejenis itu(distro umpamanya), saya sedang memikirkan bila kita dapat menjadi rekanan. Atau bila ada saudara-saudara seiman lain yang memiliki masukan-masukan, kami sangat terbuka untuk mendengarkannya. 17 tahun terakhir ini saya full time di duniapelayanan, jadi tentunya saya juga harus banyak belajar dari anda yang mungkin punya pengalaman lebih banyak di dunia entrepreneurship.Ok, sampai di sini dulu isi surat saya, hambaNya bagi kaum yangterbuang. God bless you.Dave

Jumat, 08 Februari 2008

Surat dari kaum terbuang



Dear Friends,Thank's untuk semua saudara2 seiman yang sudah memberikan responpada apa yang sedang kami lakukan saat ini. Kami sangat membutuhkansaudara2 seiman sebagai pendoa dan sahabat bagi kami. Melakukanperintisan pelayanan atau gereja bagi para anak subkultur bukanlahhal yang mudah oleh sebab itu kami perlu anda sebagai pendukung kamidi dalam doa dan juga teman untuk saling berbagi di dalam sukamaupun duka.Sebuah kisah apa yang terjadi di jalanan hendak saya coba untukbagikan ; Seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahunhidup di jalan menuturkan pengalamannya pergi dari rumah. Katanyawaktu kecil ia banyak ngeluyur dibanding sekolah, lebih banyakbermain dari pada belajar. Akibatnya, teman-temannya sudah naik kekelas tiga ia masih saja duduk dibangku kelas satu. Buat sebagiananak pergi ke sekolah tidaklah selalu berarti pengalaman yangmenyenangkan. Seorang anak lain N bila mengingat sekolah maka yangmuncul adalah gurunya yang galak dan tubuhnya yang menjadi sasaransabetan. Katanya:Waktu saya sekolah saya digebugin karena di sekolah saya goblog. Dibawa ke kantor karena.sering nonton TV lalu disuruh membaca di papantulis tidak bisa. Di sabet badanku. Pak guru saya galak. Lalu sayakeluar kelas tiga.Keadaan murid-murid bermasalah seperti itu biasanya dilaporkan olehguru kepada orang tua murid. Laporan itu bisa menjadi penyulutkemarahan orang tua. Seperti yang dituturkan H:dan pak guru saya sering datang menemui orang tua saya menceritakankeadaan saya. Saya dimarahi bapak tidak hanya dengan suara tetapijuga digebugi pakai sapu lidi sampai merah kaki sayaBerbagai penyuluhan, berita TV dan radio secara bertubi-tubi telahmengajar para orang tua memlaui pembatinan bahwa anak yang baikadalah anak sekolahan. Karena itu wajar saja bila guru tidak mampulagi mendidik anaknya, maka orang tualah yang akan meng(H)ajaranaknya. Hasilnya seperti H dan N lari meninggalkan rumah.Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Iatidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga adaperasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklahmengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah denganmengganti nama. Hampir semua anak yang saya kenal mengganti nama.Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligusmasuk dalam masa kekiniannya.Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-namayang dianggap sebagai nama "modern" yang diambil dari bintangsinotren atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan anam Andi,Roy dan semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudianmengganti namanya menjadi Roni. Alasan yang diberikan karenaMohammad adalah nama nabi. Nama itu tidak cocok dengan kehidupan dijalan. karena yang dilakukan di jalan banyak tindakan haram.Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwaia bukan sekedar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagaisarana menanggalkan masa lalunya. Artinya ia dalah bagian dariproses untuk memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupanyang merupakan konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.Kami mendedikasikan diri untuk menjangkau orang yang terbuang dananak-anak malam hingga merekapun dapat tinggal " dibawah bayang-bayang salib"(The shadow of the cross) alias mengenal Kristus.Bagi mereka yang telah menjadi bagian dari kaum subkultur selamabertahun tahun lamanya dan lalu telah keluar dari sana menjadiseorang Kristen….menjadi seorang Kristen namun tetap berada dalambudaya subkultur nampak mustahil untuk dilakukan tanpa bersinggungandengan otoritas dan ikatan kegelapan yang ada dalam "LembahKekelaman". Ada begitu BANYAK hal yang mengikat kaum subkultur yangHARUS dipatahkan dengan mulai melayani Kristus. Kehidupan kita harusselaras dengan Firman Tuhan, atau kita akan hidup terus menerus didalam ikatan itu sendiri, bagi seorang Kristen apa yang tidakmempermuliakan Tuhan, itu berasal dari kedagingan.Ada beberapa contoh hal atau ajaran yang mempengaruhi pola pikir dantindak tanduk orang kebanyakan tanpa mereka sadari dari berbagaimedia yang tersedia yang sehari-hari mereka lihat, dengar dan bacaseperti :New Age, Neo-paganism (penyembahan berhala modern), Vampirism,Druidism ( agama kuno di daratan Eropa sebelum kekristenan masuk),Necromancy (ramalan), Hawa Nafsu, Homoseksual, Seks yang tak wajar(sekalipun dalam pernikahan), Seks (di luar pernikahan), Pembunuhan,Mengejek, Bunuh diri, Narkoba, Mabuk-mabukan, Melukai diri sendiri,Wicca (sebuah bidat penyembah berhala), Paganism, Witchcraft (ilmusihir), kemarahan, kebencian, anarkisme, aborsi dll. Hal ini semuabertentangan dengan kehendak Tuhan. SEMUA INI HARUS DISERAHKAN DANDIPATAHKAN DENGAN MELAYANI (MENGHAMBAKAN DIRI) PADA TUHAN DENGANSEGENAP HATI KITA. Seorang yang sungguh-sungguh merupakan pengikutTuhan tidak melakukan semua hal itu.Seringkali kami mengekspresikan diri persekutuan kami dalam bentukjemaat mula-mula, sebuah warisan yang sangat memperkaya iman kami.Dari seni sampai pada musik, dari penyembahan sampai pada doa, kamimemiliki sejarah yang memberikan sebuah inspirasi bagi generasi yangbaru untuk datang padaNya secara apa adanya dan be simple. Kamilebih menekankan pada hubungan kekeluargaan, pemuridan dan "be the church".Kami sangat antusias membina hubungan dengan semua saudara seimanyang "care" dengan menyelesaikan tugas Amanat Agung, terimakasihatas dukungannya, support melalui kata2 motivasi dan share suka duka pelayanan di jalanan atau pun perihal keprihatinan kondisi gerejasaat ini. Kami sadar kami tidak dapat berbuat apa2 tanpa dukungandari seluruh rekan2 seiman di mailing list ini. God bless you, all.Dave Broos

Minggu, 03 Februari 2008

Doa bagi anak PUNK

Hi guys,Kalau tidak kenal maka kita tidak sayang, bukan? Pada saat ini saya(Dave Broos) ingin membagikan info mengenai anak2 punk, mengapa kitaperlu berdoa bagi mereka. Saya sebagai salah satu pelayan Tuhan yangdipanggil untuk melayani kaum seperti ini hendak membagikan hal inihingga doa kita lebih spesifik. Kita tidak sembarangan berlari atausembarangan memukul tetapi berdoa dengan tepat pada sasaran sebabsudah diperlengkapi dengan informasi.BEBERAPA waktu lalu, media televisi kita menayangkan mengenaikeberadaan punk di Indonesia. Menarik. Cuma, sayang, yangditampilkan masih sangat terbatas pada fashion dan musiknya. Mungkinkarena keterbatasan waktu atau, memang itulah yang paling menarikuntuk ditampilkan. Cuma, apa betul kalau punk itu only fashion andmusic?Dalam kamus bahasa Indonesia, punk diartikan sebagai anak muda yangmasih "hijau", tidak berpengalaman, atau tidak berarti. Bahkandiartikan juga sebagai orang yang ceroboh, sembrono, dan ugal-ugalan. Istilah tersebut sebetulnya kurang menggambarkan makna punksecara keseluruhan.Dalam "Philosophy of Punk", Craig O'Hara (1999) menyebut tigadefinisi punk. Pertama, punk sebagai trend remaja dalam fashion danmusik. Kedua, punk sebagai keberanian memberontak dan melakukanperubahan. Terakhir, punk sebagai bentuk perlawanan yang "hebat"karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaansendiri.Definisi pertama adalah definisi yang paling umum digambarkan olehmedia. Tapi justru yang paling tidak akurat karena cumamenggambarkan kesannya saja.Sebagai sebuah subkultur, punk muncul di Amerika akhir tahun 1960-anatau awal tahun 1970-an dan muncul di Inggris pertengahan tahun 1970-an. Kemunculannya di Inggris diawali dengan berkembangnya berbagaikebudayaan khas kelas pekerja sebelumnya seperti Mods dan Rockers(pertengahan tahun 1960-an), Glamrock dan Glitter (awal tahun 1970-an) sampai akhirnya Punk (pertengahan tahun 1970-an). Punk sebagaisuatu pergerakan baru nampak pada akhir tahun 1970-an.Kalau di Indonesia punk muncul sebagai sebuah imitasi, di negaraleluhurnya, punk merupakan respon terhadap situasi (pengangguran,kondisi sosial) saat itu. Keberadaan mereka nampak menonjol di pusat-pusat pertokoan dan pusat interaksi sosial lainnya. Grup musikpengusungnya berkembang di pub-pub. Di Inggris, mereka biasaberkumpul di sebuah toko di sudut King's Road, London yang dikenaldengan sebutan "World's End". Toko itu bernama SEX yang merupakanwujud perlawanan terhadap standar nilai yang berlaku dalammasyarakat.Dan, rasanya kurang klop kalau bicara tentang punk tanpa menyebutThe Sex Pistols. Grup punk rock ini tampil cukup mengejutkan.Lagunya, God Save The Queen dan Anarchy In The UK yang antikeluargakerajaan dan menginginkan kebebasan sangat berpengaruh terhadap kaumremaja saat itu. Dalam perkembangan selanjutnya, komuintas punkmulai memproduksi newsletter dan fanzine sendiri. "Sniffin Glue"adalah fanzine pertama yang mencapai penjualan tertinggi dan palingterinspirasi dengan filosofi Do-It-Yourself (Hebdige, 1976).DIY memang memberikan kontribusi yang besar bagi gerakan punkberikutnya dan banyak diadaptasi oleh komunitas punk di seluruhdunia termasuk Indonesia. Anarkisme juga sangat lekat dalam gerakanpunk. Band pertama yang serius dengan paham ini adalah Crass.Menurut mereka anarki melambangkan keinginan individu untuk hidupdan bebas menentukan pilihan tapi tetap menjaga kepercayaan dantoleransi. So guys no one is more qualified than you are to decidewhat your life will be. Keep punk alive.*** Anak punk juga butuh Yesus bahkan tidak sedikit yang cinta Tuhantetapi anti gereja karena mereka dimusuhi hanya "gara2 penampilan".Kita bisa memaklumi orang Jawa menggunakan blankon, kita bisamemaklumi ibu yang menggunakan baju kebaya, menilik gereja dipedalaman Papua orang beribadah menggunakan koteka bukanlah sesuatuyang tabu, dstnya..dstnya. Kerinduan kami anak2 subkultur dapatditerima sebagai anak Tuhan sebagaimana adanya oleh anak2 Tuhanlainnya dan hal yang kedua kerinduan kami melihat sebuah komunitasyang dapat mengakomodasi mereka beribadah tanpa suatu penghakiman.Saya mendorong rekan2 seiman untuk mulai berdoa syafaat untuk merekajuga.
Pdt. Dave BroosShadow of The Cross
www.shaddowcross.com