Kamis, 25 April 2013

Gereja Membantu Kaum Miskin

Diambil dari Tabloid Reformata

Alkisah, tahun 1976, Muhammad Yunus mendirikan Grameen Bank. Dia awalnya memberi pinjaman pada kaum miskin di Bangladesh. Prestasinya mengangkat kaum miskin membuat banyak orang terkesima. Keberhasilnya untuk mengangkat kaum miskin membuahkan hadiah nobel ekonomi tahun 2009.
Konsep itu sebenarnya sudah lama berakar dalam tradisi Kristen. Peranan gereja, bukan lagi hanya masalah rohani tetapi juga ikut terlibat dalam kegiatan masyarakat, dan itulah yang disebut pelayanan yang holistik. Jadi inilah salah satu bentuk pelayanan gereja dalam bentuk diakonia. Credit union yang dikelola gereja contohnya adalah CU di Gereja St. Joseph di Phnom Penh, Kamboja.
Program ini memberikan pinjaman kepada orang miskin dengan bunga paling rendah, kata Saing Yuth, mantan guru dan administrator CU. Pinjaman di CU tersebut hanya dikenai bunga satu persen per bulan tanpa harus ada jaminan. Ketika lembaga credit union lain mematok bunga 4-5 persen per bulan, kata perempuan itu.
Selain pinjaman, CU gereja itu juga memiliki program tabungan, yang memberikan bunga tiga persen per tahun. Kepala paroki, Pastor Paul Roeung Chatchai memperkenalkan program kredit dan tabungan itu pada awal tahun 2007. “Misi utama Gereja adalah untuk mewartakan Kabar Baik bagi manusia. CU kami merupakan salah satu cara untuk melakukan hal ini dengan memberikan kehidupan bagi orang miskin ketika mereka berada dalam situasi sulit,” katanya.
Tujuan lain, lanjut Pastor Roeung, adalah mendorong dan mengajar masyarakat setempat untuk saling mendukung dan secara finansial janganlah terlalu bergantung pada keluarga. Menurut Bank Nasionam Kamboja, negara itu memiliki 27 bank komersial, enam bank spesialis, dan 21 lembaga CU berlisensi.
Di kalangan Katolik, di KWI sendiri credit Union dirintis Romo Stephanus Bijanta CM yang menjadi Sekretaris Komisi PSE KWI. Dia berpengalaman dalam menggerakkan Credit Union di Kalimantan dan Papua. Di KWI sekarang punya Credit Union yang ada di Jakarta, misalnya CU di Jakarta yang anggotanya sekitar 1500 orang dengan total asset 14 miliar rupiah.
Romo Maryono SJ kala itu mempersilahkan untuk mengadakan sosialisasi CU di tengah karyawan-karyawati KWI. “Credit Union bukan melekat kepada lembaga seperti kantor KWI, tetapi melekat pada setiap orang yang menjadi anggota CU. Lembaga seperti KWI hanya bermitra dengan CU untuk membangun wadah merancang kesejahteraan pribadi bersama dengan orang lain,” ujarnya.

Membangkitkan ekonomi
Lain lagi CU Sondang Nauli yang berdiri tanggal 23 April 1983 di Kabanjahe, Kabupaten Karo yang berkantor pusat di Jalan Sukaraja Munthe No. 40 Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Awalnya, ikatan pemersatu CU Sondang Nauli adalah para perantau Katolik yang datang ke Kabanjahe dan sekitarnya yang tergabung dalam Punguan Sondang Nauli. Kini, credit union ini berkomitmen untuk tetap konsisten dan terus menerus memberikan pelayanan terbaik bagi anggotanya dan seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Karo.
Kisah lain, Pintaraja Marianus Sitanggang seorang penggagas credit union di Sumatera Utara. Dia memulai di lingkungan sekolah. Berawal sebuah koperasi yang dibentuk dari dua SMA di Pematang Siantar, kini ada 61 credit union di bawah naungan Puskopdit BK3D Sumatera utara. Kini, total aset credit union di bawah Puskopdit BK3D ini, sampai sekarang lebih Rp 1 triliun. Uang tersebut semuanya berasal dari simpanan saham anggota credit union yang jumlahnya lebih dari 250.000 anggota, basisnya juga gereja.
Awalnya, keputusan Pintaraja mendirikan credit union itu diawali sejak Sitanggang mengikuti seminar perburuhan di Baguio City, Filipina, tahun 1970. Sitanggang yang saat itu menjadi guru SMA Katolik Budi Mulia, Pematang Siantar, Sumatera Utara, berada di Filipina karena ditugaskan Pengurus Pusat Persatuan Guru Katolik. “Salah satu materi seminar perburuhan itu tentang credit union.”
Sebagai ketua yayasan, Sitanggang kemudian mengajak para guru dan karyawan SMA Budi Mulia mendirikan credit union. Tahun 1973, terbentuklah credit union Cinta Mulia. Tetapi, kondisi ekonomi saat itu belum pulih benar akibat inflasi pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno.
Ini membuat tak banyak orang tertarik pada ide koperasi simpan pinjam itu. Namun, Sitanggang tak kehilangan akal. Ia lalu bersepakat dengan guru dan karyawan agar memotong sebagian gaji mereka sebagai simpanan saham. ”Waktu itu lembaga keuangan, apalagi koperasi, hampir tak dipercaya masyarakat. Di sisi lain, masyarakat miskin di desa-desa tak mengenal konsep menabung karena untuk makan saja sulit,” ujarnya.
Tantangan membentuk permodalan bersama bagi rakyat miskin di pedesaan tak menyurutkan semangat Sitanggang. Ia tak ragu mendatangi lapo, kedai tuak, dan mengunjungi rumah warga di huta-huta di Sumatera Utara, hanya untuk memberi pemahaman bahwa semiskin-miskinnya orang masih ada yang bisa mereka sumbangkan.
Awalnya dia hanya berkantor di gereja. Itu dilaluinya selama 10 tahun pertama. Tapi  kemudian, credit union ini mulai dilirik masyarakat. Kini, credit union menjadi semakin inklusif. Lembaga keuangan ini tak hanya dimiliki jemaat gereja Katolik, tetapi juga mereka yang beragama lain.
Kini, dengan berkembang itu, maka berdirilah Badan Pengembangan Daerah Koperasi Kredit yang menjadi cikal bakal koperasi sekunder, Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D). Penyesuaian nama sejalan dengan Undang-Undang Koperasi, membuat BK3D diubah menjadi Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit).
Ternyata credit union dapat membangkitkan ekonomi rakyat.
 ?Hotman J. Lumban Gaol

Tidak ada komentar: