NAMAKU NOVIE
Hai namaku, Novie Durant. Aku lahir di pulau Sumatera 35 tahun yang lalu. Kurasa semua orang mendambakan untuk terlahir di dalam sebuah keluarga yang bahagia dan sempurna. Namun pada kenyataannya tidak semua keluarga hidup bahagia. Sebab kehidupan adalah kenyataan dan bukanlah cerita dongeng. Kuingin membagikan kisah hidupku yang penuh liku dan kerikil tajam.
Aku dibesarkan dalam sebuah keluarga pelaut. Pada saat aku lahir, papa tidak ada sebab sedang berlayar. Saat aku beranjak mencapai usia 2 tahun, papa baru pulang untuk melihat putri pertamanya. Sangat kurindukan pelukan dan perhatian dari seorang ayah yang penuh kasih, namun hal itu tidak pernah kudapatkan sebab ia harus berlayar ke negeri seberang. Hingga hubungan kami renggang, ia pun mengalami kesulitan di dalam berkomunikasi baik dengan diriku maupun adik lelakiku. Sebagaimana kebanyakan pelaut lainnya, ayahku memiliki kebiasaan buruk yang sama yaitu bermabuk-mabukkan.
Aku sering mengalami ketakutan bila melihat papa sedang mabuk, terlebih bila ia sedang marah. Tanpa sadar itu sangat melukai diriku dan merusak figur seorang pria secara keseluruhan di mataku.
Saat papa berlayar, keadaan ekonomi kami sangat baik. Kami biasa menolong keluarga dalam hal pendidikan dan usaha mereka maupun tetangga di lingkungan kami tinggal. Aku biasa mengenakan pakaian baru setiap kali papa pulang berlayar dari luar negeri. Sudah tradisi setiap akhir pekan kami akan pergi makan bersama di restoran. Kehidupan yang layak dan mapan telah kami jalani. Sampai suatu hari papa dijebak oleh salah seorang rekannya hingga ia sangat terpukul oleh peristiwa itu. Papaku dituduh sebagai penyelundup barang import. Papa dan mami meninggalkan kami ke Pulau Jawa. Sedang aku dan adik tetap tinggal di kota kelahiran. Kami dibesarkan di rumah keluarga mami. Dari keadaan ekonomi yang berlimpah-limpah, kini kami harus tinggal di rumah saudara. Demi sekolah dan kebutuhan sehari-hari, kami harus bekerja membereskan rumah dan aku memberikan les pada anak-anak di lingkungan kami tinggal untuk uang tambahan. Harga diri kami tercabik-cabik, keputusasaan, ketakutan, kecemasan dan kekuatiran menguasai pikiran dan hati. Terlebih saat aku mengalami pelecehan seksual, kebencian dan perasaan tidak percaya pada kaum pria bertambah besar.
Adakah masa depan bagi kami? Mengapa orang-orang yang dahulu papa dan mami bantu malah mencibir kami? Sia-siakah perhatian dan pertolongan keluarga kami dulu? Tidak adakah orang yang mengingat kebaikan yang telah keluargaku tabur? Aku sangat terluka saat itu, seolah-olah harga diriku runtuh. Dulu aku biasa mentraktir teman-temanku, kini aku ditraktir oleh mereka. Rasanya aneh dan sulit rasanya menerima keadaan ini. Namun itulah kehidupan yang harus aku lalui, berat dan perih tapi inilah jalan yang harus kulalui. Ketika sahabat-sahabatku terlibat pergaulan seks bebas dan bermabuk-mabukkan, aku tetap berpegang pada prinsip hidup yang kupercayai, yaitu aku tidak mau merusak diriku. Prestasi belajar di sekolah pun aku pertahankan,ketika anak lain yang frustasi membolos sekolah, aku tetap berprestasi dalam pendidikan. Orang-orang mengatakan,” Lihat si Novie, paling-paling sebentar lagi akan rusak sebab Papanya saja seperti itu.” Sudah cukup orang mencibir papa dan mami, aku ingin membuktikan bahwa keluarga kami tidak seperti itu.
Saat kuberanjak SMA, aku pindah ke Jakarta dan untuk pertama kalinya bersatu kembali dengan Papa dan Mami. Semenjak peristiwa yang menimpa Papa di Belawan, ia sulit untuk dapat bangkit kembali baik dalam pekerjaan dan usaha. Rasa kecewa dan terluka akibat dikhianati teman baiknya menyelimuti relung hatinya, yang membuat ia makin terbelenggu dalam kebiasaan buruknya bermabuk-mabukkan. Hingga ia sulit untuk dapat menjadi produktif lagi. Kulihat Mami dalam kondisi yang sulit sekali pun, ia tetap setia mendampingi Papa dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
Aku pindah ke Jakarta sebab salah seorang tanteku mengatakan bahwa aku akan dibiayai olehnya selama mengikuti pendidikan. Memang hal itu terjadi sampai aku duduk di bangku kelas 3 SMA, dimana ia menolak untuk membiayaiku. Aku tidak mampu membeli buku sekolah dan bila hendak ulangan terpaksa belajar di rumah teman agar dapat mempelajari bahan ulangan besok. Sedih sekali rasanya hidup yang harus kulalui ini, aku sangat iri melihat teman-teman hidup dalam keluarga yang bahagia dan berkecukupan. Aku kadang merasa marah melihat anak-anak yang memiliki orangtua yang mapan namun tidak pernah serius belajar dan hanya hidup hura-hura. Meski hidup-ku sulit dan godaan teman-teman untuk “rusak” di ibukota sebagai jalan keluar cepat mencari uang ada di depan mata namun aku menolaknya, sebab aku ingin membuktikan bahwa aku dapat hidup lurus dan menjadi kebanggaan bagi keluarga-ku. Pada akhirnya aku dapat lulus SMA meski kondisi kami sulit saat itu. Namun tante-ku yang berjanji membiayai studiku menolak untuk membayar SPP-ku selama setahun dan menyuruh Papa untuk membayar semua biaya tersebut. Padahal saat itu, ia tahu bahwa Papa belum memiliki pekerjaan tetap dan bekerja serabutan. Walhasil, aku lulus SMA tapi tidak memiliki ijazah dan pupus sudah cita-citaku untuk kuliah psikologi dan mendalami pendidikan anak. Semuanya seolah hanya impian di siang bolong saja. Sempat aku kecewa dan marah pada sikap tante-ku, dulu sebelum mereka berhasil dan sukses, Papa membiayai hidup mereka bahkan membiayai kuliah om-ku. Kini ketika kami butuh pertolongan, mereka seolah melihat kami ini pengemis saja. Semudah itukah manusia lupa?
Akhirnya kami mengadu nasib di kota Pahlawan, Surabaya. Setelah sebelumnya Papa menjemput adik-ku di Sumatera, akhirnya kami bersatu kembali sebagai keluarga yang utuh meski dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu. Di kota Surabaya, kami berempat kost di sebuah kamar berukuran 3 x 3, di sebuah daerah perumahan padat dekat pelabuhan Perak. Meski kondisi ekonomi tidak kunjung membaik namun paling tidak di sini papa dan adik-ku mendapatkan pekerjaan sebagai pelaut kembali. Di daerah baru ini aku memiliki dua orang teman baik, mereka berdua acap kali mengajak-ku untuk mengikuti sebuah persekutuan doa, Youth Christian Center. Pada mulanya aku tidak tertarik dan acap kali sakit bila hendak pergi namun karena terus menerus mereka mengajak, akhirnya hatiku luluh dan mengikuti ibadah di sana. Saat itulah aku mulai dijamah oleh Tuhan, hatiku yang selama ini keras oleh tempaan hidup dan terluka sangat dalam mulai dipulihkan oleh Bapa Surgawi yang penuh kasih. Sedikit demi sedikit kekerasan hati dan luka-luka mulai disingkapkan dan dipulihkan. Persekutuan yang erat dan perhatian yang tulus kurasakan dalam komunitas itu. Aku merasa berharga dan dapat menjadi diriku sendiri tanpa dihakimi, dalam persekutuan inilah kurasakan apa yang dinamakan keluarga dalam Kristus yang sebenarnya. Dalam persekutuan itulah awal aku mengalami Kristus dan lahir baru.
Saat itulah aku mengalami kelepasan dari belenggu kutuk nenek moyang. Ini merupakan kesaksianku yang lain. Saat aku lahir, orang percaya bahwa aku memiliki keistimewaan sebab saat lahir sudah tumbuh dua gigi seri. Dari latar belakang papa yang mempercayai kuasa gelap dan juga nenek moyang mami yang terlibat okultisme membuat mereka mempercayai hal tersebut. Konon nenek moyang Mami merupakan “orang pintar” pada masa Sisingamangaraja. Sejak kecil aku sudah dapat melihat roh-roh jahat dan berkomunikasi dengan mereka. Keluargaku menganggap bahwa hal itu adalah anugerah dari Tuhan untuk menolong orang lain dan mengetahui masa depan. Ada anggota keluargaku yang membawa aku ke tempat beberapa paranormal, untuk meyakinkan keluarga dan diriku bahwa aku memiliki “kelebihan”. Aku tidak pernah mencari ilmu seperti paranormal pada umumnya namun roh-roh jahat itu datang, berkomunikasi dan membuat perjanjian denganku. Melalui kuasa roh-roh itu, aku dapat menyembuh mereka yang sakit, mencari barang yang hilang, menjadi medium, meramalkan masa depan, dan lain-lain. Namun setiap kali aku menjadi “alat” mereka, aku langsung sakit sesudahnya. Ada rasa takut juga dalam diriku, sebab tiap kali aku marah terhadap seseorang, pasti orang tersebut jatuh sakit atau bila ada orang yang telah kulayani ingkar janji padaku maka orang tersebut mengalami bencana.
Dalam persekutuan doa itulah Tuhan mulai menjamah, menyadarkan dan memerdekakan aku dari setiap belenggu dosa nenek moyang dan dilayani kelepasan. Aku sadar bahwa ini merupakan dosa nenek moyang, yang perlu aku akui dihadapan Tuhan meminta ampun atas apa yang telah dilakukan oleh nenek moyangku dan memutuskan rantai perhambaan itu selamanya.
Dari Persekutuan ini akhirnya aku diutus untuk mengikuti pendidikan PLHK di Bali Bible Training Center yang memperlengkapi aku lebih lagi dalam pengenalan akan Tuhan dan pekerjaan Tuhan.
Hati-ku sempat tertutup bagi pria sebab aku mengalami trauma terhadap sikap Papa yang kaku selama ini dan kebiasaan buruknya, plus pengalaman mengalami pelecehan seksual saat kecil. Sempat terbersit dalam benakku untuk menjadi biarawati gereja Katholik saja dan tidak perlu menikah. Namun setelah aku mengalami pemulihan yang dikerjakan Tuhan, hatiku yang dulu tertutup bagi pria mulai terbuka kembali.
Setelah mengalami pemulihan dan kelepasan itu rasa haus dan lapar akan Tuhan meliputi dalam diriku mendorong aku untuk lebih aktif di persekutuan. Saat itulah Tuhan mulai berbicara mengenai siapa calon pasangan hidupku. Ada perasaan aneh dan tidak percaya. Sampai suatu sore, dalam salah satu ibadah yang diadakan, sang pembicara menyampaikan khotbah dengan topik Kerendahan Hati dan diakhiri dengan pembasuhan kaki. Saat itu si pembicara menyatakan bahwa kami perlu berdoa terlebih dulu dan bertanya pada Tuhan siapa yang harus kami basuh kakinya. Saat kuberdoa ada sebuah instruksi yang sangat jelas bagiku untuk membasuh kaki ketua Persekutuan Doa tetapi tidak dengan handuk dan air di baskom, tetapi dengan tetesan air mata dan rambutku. Ada perasaan takut, bagaimana kata yang lain dan mengapa hanya padanya saja dan tidak yang lain. Namun aku memilih untuk taat saat itu, hatiku dijamah olehNya dan mentaati apa yang Tuhan perintahkan. Dikemudian hari baru kutahu bahwa pada tahun 1993, ketua PD kami saat itu berdoa dan Tuhan menyatakan bahwa Ia akan memberikan pasangan hidup baginya. Dan salah satu tandanya adalah wanita itu akan membasuh kakinya dengan tetesan air mata dan uraian rambut panjang sebagai kain lapnya. Hingga saat aku membasuh kakinya, Tuhan mengingatkan janjiNya itu.
Perjalanan memasuki hubungan penjajakan kami tidaklah mudah, berulang kali aku mau mundur dari hubungan tersebut. Sebab banyak orang mengatakan aku tidak layak membina hubungan dengan ketua PD sebab aku baru bertobat sedang ia sudah lama pelayanan, ada pula yang mengatakan aku memelet ketua PD dan lain-lain. Aku sedih mendengar pernyataan orang-orang tersebut namun ada pula yang menguatkan aku dengan menyatakan bila memang ini kehendak Tuhan, semuanya pasti akan dapat dilalui. Dan yang terpenting calon pasanganku saat itu, tetap percaya bahwa diriku adalah pasangan hidupnya.
Akhirnya ia menjadi pasangan hidupku, namanya Dave Broos. Kami membina hubungan selama setahun dan lalu menikah pada bulan Agustus 1999 di Surabaya. Kami diberkati di GKB Shalloom – Surabaya, oleh Pdt. Yohanes Thomas.
Akhirnya persekutuan doa yang selama ini dirintis suamiku, menjadi sebuah gereja, GKB Cinta Kasih Bangsa (Indonesian Christian Center) dan suamiku menjadi pendeta gembala sidang. Tidak pernah terpikirkan olehku akan menikah dengan seorang gembala sidang dan menjadi ibu gembala namun itulah Tuhan kita yang sering membuat surprise. Setelah menikah aku mengikuti kuliah jarak jauh yang diadakan Seminari Bethel – Jakarta, yaitu Sekolah Theologia Extention (STE) untuk program D-3. Akhirnya aku dapat kuliah meskipun bukan di bidang yang kurindukan namun kumengucapkan syukur atas kesempatan yang terbuka. Melalui sekolah tersebut aku bertumbuh lebih berakar dalam Firman Tuhan di dalam menopang pelayanan suamiku, terutama sebagai pendoa syafaat dan konselor.
Tuhan kembali mengingatkanku akan apa yang telah terjadi dalam hubunganku dengan papa. Setelah aku mengalami pemulihan aku tersadar bahwa sikap papa yang keras dan kaku adalah akibat opa-ku. Beliau adalah seorang anggota polisi yang terhormat di Sulawesi Utara, terkenal sangat disiplin dan keras baik terhadap anak kandungnya maupun anak-anak angkatnya. Papa mungkin seorang pemabuk namun bila kuingat kembali sebenarnya ia penuh perhatian baik padaku maupun adik. Hanya akibat sifat buruknya yang dulu menjadi fokus perhatianku, aku tidak dapat melihat sisi-sisi dirinya yang baik bagi keluarga kami.
Bukan hanya aku saja yang diselamatkan, namun Tuhan mulai menjamah orangtua maupun adikku. Saat adikku “tertinggal” di Sumatera dan hidup dengan Opung, ia terlibat pergaulan yang salah dan menjadi pengedar narkoba. Ia menjadi anggota geng pengedar ganja. Namun setelah melihat perubahan dalam hidupku dan berbincang dengan suamiku yang dulunya juga mantan anak geng di kota Bandung dan pecandu, ia pun mulai berubah. Perubahan yang nampak jelas adalah ia mulai berhenti mabuk-mabukkan dan bergaul dengan teman yang salah. Begitu juga dengan kedua orangtuaku yang berubah, Papa pun akhirnya berhenti mabuk dan memusnahkan semua opo-opo(barang bertuah) yang ia miliki. Semenjak itu hubunganku dengan papa dipulihkan, sungguh bahagianya kini aku memiliki ayah yang baru. Mami yang dulu suka berjudi sebagai pelariannya pun kini bertobat dan berhenti total. Semuanya hanya bisa terjadi oleh karena Kuasa Tuhan yang penuh kemurahan dan limpah kasih.
Hadiah terbesar bagi kami adalah kelahiran putra kami, Philip Broos. Ia adalah anak penghiburan kami di ladang pelayanan. Banyak orang memprediksikan bahwa aku akan sulit hamil karena kondisi kesehatanku namun Tuhan mementahkan semua prediksi orang. Dan hal itu sangat membahagiakan diri keluarga kami. Apa yang manusia katakan mustahil dimentahkan oleh Tuhan kita yang penuh mujizat. Ada banyak hal yang Tuhan lakukan bagi keluarga kami. Saat dokter kami menyatakan bahwa putra kami terbelit tali pusernya hingga aku harus dioperasi cesar padahal sudah bukaan 6. Saat keuangan kami hanya cukup untuk biaya persalinan normal. Rasa takut untuk dioperasi maupun biaya yang harus ditanggung membayangi pikiranku. Siapa yang akan menolong kami, sebab jemaat yang kami gembalakan hanyalah orang kalangan bawah. Hanya pada Tuhan kami bersandar dan percaya. Barangsiapa percaya pada Tuhan tidak akan pernah dipermalukan, itulah janjiNya. Beberapa hari setelah kelahiran putra kami, Tuhan memakai seseorang untuk melunasi semua biaya persalinan dan bukan itu saja, ada uang lebih bagi kebutuhan keluarga kami.
Setelah 7 tahun merintis pelayanan dan menggembalakan sidang, Tuhan mulai mendorong kami untuk menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan pelayanan gereja pada anak-anak rohani yang telah kami muridkan selama ini. Pada tahun 2005, suamiku mengundurkan diri dari pelayanan penggembalaan dan mempersiapkan diri kami sekeluarga untuk memulai pelayanan di kota Bandung.
Saat itu aku tengah mengandung anak kedua kami. Dokter memprediksikan bahwa bayi kami adalah perempuan dan suamiku telah menyiapkan nama Regina bagi putri kami. Putraku, Philip sangat antusias menyambut kelahiran adiknya. Ia telah menyiapkan boks bayi dan boneka-boneka bagi adiknya. Ia sudah membayangkan akan bermain dengan adiknya, di TK ia dengan bangga menceritakan pada teman-temannya bahwa sebentar lagi ia akan punya adik.
Saat kami tengah berjalan-jalan di sebuah mall, tiba-tiba aku merasa waktu persalinan telah tiba. Segera kuberitahu suamiku dan kami bergegas menuju rumah sakit. Setelah tiba di rumah sakit ternyata bayi kami sungsang dan kembali aku harus dioperasi cesar. Namun karena tekanan darahku tinggi maka operasi akan dilakukan keesokan harinya.
Ada perasaan berbeda saat ini, perasaan ini berbeda dari saat menghadapi operasi cesarku yang pertama, ada rasa was-was seperti akan mati. Saat operasi dilangsungkan aku melihat wajah cemas dari para perawat maupun dokter. Ketika putriku lahir, kulihat dokter segera membawa putriku ke ruangan lain. Hatiku cemas, kondisi tubuhku saat itu menurun, semuanya mulai menjadi gelap kudengar salah satu suster berbisik di telingaku, “ Ibu sadar ya, ingat suami dan anaknya di luar.” Tiba-tiba terbayang wajah suami dan putraku yang terlihat sedih. Apakah aku akan mati? Segera aku coba untuk tetap tersadar, aku tidak mau mati meninggalkan keluargaku, mereka masih membutuhkanku.
Setelah kusadar, aku sudah ada di ruang pasien, di sana ada mami yang duduk menungguiku, wajahnya tampak lesu. Lalu aku bertanya,”Kenapa, Mi?” Mami menjawab,”Engga apa-apa.” Aku mulai curiga ada apa ini tapi semuanya coba kutepis. Lalu aku berbicara lagi,”Mi, nanti sepulang dari sini, kita belanja baju bayi di pasar Turi ya?” Mami hanya terdiam dan matanya berkaca-kaca. Saat itulah putraku, Philip masuk kamar. Kupandang Philip dan bertanya,” Phil, kamu senang punya adik sekarang?” Ia menjawab dengan polos dan sedih,” Apa, Ma, adik Philip khan sudah mati.” Kusela jawaban Philip,”Phil, kamu tidak boleh berbicara begitu tentang adikmu.” Kupandang suamiku berdiri di muka pintu dengan pandangan kuyu, ada apa dengan suamiku yang biasanya ceria. Ia memandangku dan lalu memelukku,” Ma, Regina sudah tidak ada dengan kita.” Seketika itu juga aku meledak dalam tangisku, kesedihan memenuhi hatiku. “Mengapa Tuhan?”
Sehari setelah penguburan putri kami, Regina, aku baru tahu bahwa putri kami meninggal akibat praeklamsi. Putri kami hidup sejam sebelum ia pulang ke Rumah Bapa. Ada kesedihan, ada pertanyaan, ada kekosongan namun semua kuserahkan pada Tuhan. Kami mengucap syukur atas satu jam yang Tuhan percayakan bagi kami sebagai orangtua bagi Regina. Di balik segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, ada hikmahnya dimana kita bisa belajar dariNya.
Di kala awan mendung kesedihan melanda keluarga kami, Tuhan memakai saudara-saudara seiman kami di Gereja Oikos Indonesia jemaat Surabaya yang digembalakan Penatua Johanes Harjanto, sebagai tempat kami dipulihkan Tuhan kembali dan mematangkan rencana kami kembali untuk melayani di kota Bandung.
Pada saat persiapan kami merasa mantap untuk pindah namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kami akan pindah sebab kami sudah tidak memiliki uang tabungan untuk pindah ke kota Bandung. Kepindahan kami pada bulan Juni 2007 sudah mendekat namun uang tidak ada. Hingga kami bertanya-tanya, apakah benar kami mendapat perintah Tuhan atau ini hanya gagasan baik kami saja. Kembali lagi Tuhan melakukan suatu kejutan bagi kami, sebulan sebelum kepindahan kami, salah seorang sahabat suamiku memberikan berkat. Hingga kami dapat pindah ke kota Bandung, mengontrak tempat tinggal dan memasukkan putra kami sekolah di SDK Baptis.
Kini kami sudah berada di kota Bandung dan tengah merintis pelayanan The Eagles Nest Ministries. Kami tidak memiliki aset, atau kehebatan apa pun namun kami memiliki hati untuk melayani Yesus Kristus dan itu sudah cukup bagi kami. Tuhan memberikan hatiNya yang limpah dengan kasih bagi kami dan sebagaimana Ia telah memulihkan kami, kerinduan kami adalah melihat setiap jiwa mengalami pemulihan dan mengerti jati diri mereka dalam Kristus.
Aku tahu di luar sana, ada begitu banyak jiwa yang terluka terutama para wanita yang belum mengalami pemulihan. Doa dan kerinduan hatiku, melihat tiap wanita dalam Kristus mengalami breakthrough dalam hidupnya.
Sebagaimana Tuhan telah memulihkanku, Ia pasti akan memulihkanmu juga sebab di dalam Kerajaan Surga tidak ada “anak emas”. God bless you, all.
Anda ingin sharing, didoakan atau kami layani silahkan hubungi kami di 081330135643(tlp/sms) atau
novie_durant@yahoo.com. Kami ingin menjadi sahabat dan saudara dalam suka maupun duka. WE CARE.